Senin, 25 Agustus 2008

PENGALAMANKU...

Perkenalkan dulu, namaku Nina. Kisah ini kutulis untuk Pembaca. Maaf barangkali 
kisah ini tidak tersampaikan dalam bahasa yang bagus, karena aku tidak mempunyai 
pengalaman sedikitpun dalam hal tulis-menulis dan olah kata. 
 
Sampai aku lulus SMA. Pada saat itu aku dilamar seorang pria yang masih ada ikatan 
saudara, sebut saja Mas Wira. Orangnya ganteng dan orangtuanya cukup kaya. Aku 
waktu itu baru berusia 19 tahun. Sebenarnya memang aku sudah naksir sama Mas 
Wira. Maka waktu aku dilamar, walaupun masih sangat muda, aku sih mau saja. 
Kupikir walaupun sekolah terus, toh nanti juga akan di rumah mengurus keluarga, 
karena Mas Wira tidak mengizinkan aku bekerja. Kasihan anak-anak katanya. Tentu 
saja yang paling penting, bagaimana setelah kami dikawinkan dan mengarungi hidup 
  ini bersama Mas Wira.
Beberapa bulan sebelum perkawinan kami, dalam masa pacaranku yang singkat, aku 
mendapatkan pengalaman mengenai penis laki-laki. Pada hari libur aku dan Mas 
Wira sering berpergian berdua dengan sepeda motor. Tetapi pacaran kami yang 
nyerempet-nyerempet bahaya justru terjadi di rumah Mas Wira. Ciuman pertama 
berlangsung di gedung bioskop, waktu nonton berdua. Itupun belum dapat dinikmati 
betul. Tapi karena pertama kali rasanya luar biasa. Kalau untuk ukuran jaman 
sekarang, ciuman di bioskop itu rasanya lucu dan hambar. Kurang nafsu. Setelah 
menjadi suami istri aku sering diledek oleh suamiku mengingat ciuman di bioskop 
itu. Pertama kali aku melihat kemaluan laki-laki adalah punya Mas Wira. Hal itu 
terjadi waktu aku hanya berdua di rumah Mas Wira. Kami berdua ditinggal 
kondangan oleh orang tua Mas Wira. Kami berciuman sepuasnya dan Mas Wira 
meremas-remas buah dadaku dengan penuh nafsu. Karena nafsu semakin naik, Mas 
Wira sampai merogoh kemaluanku. Aduh rasanya takut-takut nikmat. Celana 
  dalamku dipelorotkan sampai ke pahaku.
"Nin kamu pengin lihat punyaku nggak?" tanya Mas Wira. Aku diam saja, rasanya 
takut dan malu sekali. Tapi Mas Wira langsung membuka sarungnya dan melorotkan 

celana dalamnya. Aku kaget juga melihat penis Mas Wira yang tegang tegak berdiri. 
Kepalanya 'mbendol,' dan aku jadi teringat waktu aku melihat penis kuda waktu aku 
masih kecil. Kelihatan urat-uratnya menonjol di kiri-kanan batang penisnya. 
Tanganku dituntun Mas Wira untuk memegangnya. Aku segera menggenggamnya 
dan memijit-mijitnya. Aduuh, rasanya berdebar-debar sekali. Aku betul-betul telah 
memegang dan menggenggam penis laki-laki. Aku mengelus-elus kepalanya. Mas 
Wira menggeliat dan mendesis, "Aduuh geli... Nin", katanya. Saat itu kami hanya 
sampai memegang-megang saja. Kami belum berani bertindak lebih jauh. Itupun 
malam harinya aku teringat-ingat penis Mas Wira yang tegang dan besar. Apakah 
nanti muat kalau masuk ke vaginaku? Dan ini aku ketahui pada malam pengantin 
  kami.
Setelah pesta selesai dan saudara-saudara telah pulang, baru terasa betul bahwa 
kami sangat capai dan mengantuk. Kami berdua masuk kamar pengantin kami. 
Karena sudah suami-isteri rasanya justru tidak malah santai dan tidak tergesa-gesa, 
tidak begitu menggebu-gebu untuk mulai bercumbu. Kami ganti pakaian, aku pakai 
daster dan Mas Wira pakai sarung dan kaos oblong. Kami berhadapan dan berciuman 
dengan mesra, saling meraba dan membelai. Entah siapa yang memulai, tahu-tahu 
dasterku telah terlepas, celana dalamku telah lepas pula, BH-ku telah jatuh. Mas 
Wira membuka sarung, celana dalam dan kaos oblongnya. Telanjang bulat berdua. 
Mas Wira sudah nafsu sekali. Aku dibaringkannya di kasur. Mas Wira menciumi 
seluruh wajah dan badanku dari atas sampai bawah. Tangannya berhenti di 
vaginaku, dielus, dibelai dikilik-kiliknya kelentitku. Liangku sudah basah. Tidak kalah 
semangat, penis Mas Wira kugenggam kuat-kuat dan kuelus-elus kepalanya. Mas 

  Wira mulai menindihku, menciumiku. Ternyata berat juga!

"Sekarang, ya Nin." Aku mengangguk. Kakiku aku kangkangkan, tangan Mas Wira 
memegang penisnya diarahkan ke vaginaku. Tangannya menuntun tanganku 
memegang penisnya. "Tolong dipaskan ke lubangnya Nin", kata Mas Wira serak. Aku 
paskan kepala penisnya ke lubang vaginaku. Mas Wira menekan, nekan lagi, nekan 
lagi nggak masuk-masuk juga. Aku semakin takut, nafsuku justru menurun. Mas 
Wira membasahi kepala penisnya dengan ludahnya. Aku paskan lagi ke lubangku. 
Ditekannya, dan blees masuk kepalanya. Aku menjerit lirih. "Sakiit ya Nin. Sakit 
yaa", bisik Mas Wira. Aku mengangguk. Ya Ampun penis Mas Wira baru masuk 
sepertiganya. Rasanya perih dan mengganjel sekali di liang vaginaku. Mas Wira 
menekan masuk lebih dalam, seret sekali. Nampaknya ludah Mas Wira hanya 
membasahi kepalanya saja, sehingga batangnya tetap kering. Kalau penisnya 
digerakkan rasanya sakit. Aku takut sekali. Kalau nanti sakit terus, lalu nanti 
gimana? Akhirnya aku menangis. Mas Wira kaget. Dicabutnya penisnya pelan-pelan 
dan aku diciuminya, "Aduuh, sakit sekali ya Nin. Sudah-sudah dulu nggak usah 
diterusin dulu", katanya menghiburku. 
"Nanti Mas Wira gimana kalau sakit terus", bisikku sambil memeluknya. 
"Nanti, lama-lama kan nggak sakit. Sabar saja deh", hiburnya. Tapi aku yakin Mas 
  Wira pasti kagok malam itu.
Ceritanya malam pengantin kami tidak selesai. Mas Wira gagal memerawaniku. Kami 
tidur karena memang capai dan mengantuk. Pagi-pagi bangun. Mas Wira berkata 
"Nin, sarungku basah. Spermaku keluar sendiri semalam waktu kutidur." Nampaknya 
karena sudah nafsu sekali, dan persetubuhan kami tidak selesai, spermanya yang 
sudah siap muncrat akhirnya keluar sendiri waktu Mas Wira tidur. Kasihan Mas Wira. 
Pagi itu setelah mandi, aku masuk ke kamarku. Kemaluanku masih agak panas 
rasanya. Kulihat lubang vaginaku dengan cermin. Kulihat liangnya masih tampak 
rapat, Kelentitnya juga nampak jelas dan agak kebiruan. Kasihan Mas Wira. Aku 
  berjanji malam nanti harus dapat diselesaikan.
Malamnya kami masuk kamar tidur sekitar pukul 21.00. Mas Wira langsung memeluk 
dan menciumku. Aku sudah siap-siap, sehingga tidak pakai celana dalam dan BH. 
"Mas, ayo kita selesaikan Mas!" kataku. Mas Wira juga hanya pakai sarung saja. 
Dilepasnya sarungnya, dan dasterku disingkapkan ke atas sampai ke leherku, 
sehingga buah dadaku juga terbuka. Mas Wira sudah akan naik di atasku. 
"Mas.. penisnya dibasahi sampai kuyup semua yaa. Sampai belakang ke pangkalnya, 
biar licin", kataku. Mas Wira diam saja, terus meludahi telapak tangannya dan 
dioleskan ke penisnya. Benar juga, penisnya relatif mudah masuk walaupun terasa 
mengganjel banget. Akhirnya masuk semuanya. Mas Wira mulai turun naik. Aku 
mulai menikmatinya. Makin basah, makin licin, dan makin nikmat, makin nikmat, 
makin nikmat. Mas Wira juga makin bersemangat mengocokku. Dia merangkulku, 
menciumiku. Penisnya terasa keluar-masuk vaginaku yang sudah semakin licin. 
Benar-benar penis itu rasanya nikmat sekali. Otot vaginaku makin berkontraksi 
menjepit keras penis Mas Wira. Mas Wira makin cepat mencoblos vaginaku, dan 
akhirnya dia menekan penisnya masuk dalam-dalam sampai habis ke pangkalnya. 
Mas Wira. Memang haknya dia. Aku bahagia sekali, Mas Wira sudah bisa muncrat 
spermanya di vaginaku. Malam itu aku belum benar-benar merasakan nikmatnya 
  bersetubuh. Tapi aku sudah punya keyakinan vaginaku sudah tidak akan sakit lagi.
Setelah malam itu, kami hampir setiap malam bersetubuh. Aku sudah bisa 
merasakan orgasme beberapa kali sampai lemas. Aku tidak malu-malu lagi untuk 
bergerak, menggeliat, mencengkeram, melenguh, merintih menikmati coblosan 
suamiku. Mas Wira juga mengajariku beberapa variasi dalam berhubungan seks. 
Tetapi sampai saat ini Mas Wira tidak mau aku mengulum penisnya. Katanya penis 
itu tempatnya di vagina bukan di mulut. Dia kasihan kalau aku harus mengemot dan 
mengulum penisnya. Rasanya dia kayak orang yang sewenang-wenang sama 
istrinya. Demikian juga aku juga tidak tega kalau suamiku sampai mengulum dan 
menjilati vagina dan clitorisku. Memang betul Mas Wira, vagina itu rumah penis, 
  kalau lidah ya di mulut.
Kehidupan seksual dengan suamiku baik-baik saja, sampai aku hamil. Pada saat 
hamil kami tetap bersetubuh dengan teratur, walaupun dengan berhati-hati. Bahkan 
malam sebelum anakku lahir, kami masih bersetubuh. Kata Mas Wira setelah hamil 
tua, vaginaku menjadi semakin lebar dan licin, tetapi nikmat juga. Aku juga tetap 
merasa nikmat. Aku melahirkan bayi laki-laki yang cakep banget dan sehat. Kata 
Mas Wira anak ini pasti sehat karena setiap malam "disepuh" atau dilumuri sperma 
ayahnya waktu di dalam kandungan. Terang saja, sampai hamil besarpun kami tetap 
  bersetubuh minimal dua kali seminggu.
Satu bulan lebih setelah melahirkan, Mas Wira sudah nggak tahan lagi. Tiap malam 
penisnya tegang banget. Walaupun kupijit dan kukocok, tetapi spermanya bandel 
nggak mau keluar-keluar juga. Lama-lama aku kasihan juga sama Mas Wira. 
Nampaknya persediaan spermanya sudah penuh dan pengin muncrat keluar. 
"Mas.. sekarang boleh dicoba yaa. Tapi pelan-pelan lho", ajakku suatu malam 
setelah aku mengocok penisnya. 
"Sudah berani Nin.. sudah sembuh." Aku mengangguk. Dasterku kusingkapkan ke 
atas. Buah dadaku yang besar karena sedang menyusui, kelihatan putih 
menggunung. Mas Wira membuka celana dalamku. Buah dadaku diciuminya dan 
mengenyot pentilku pelan-pelan. 
"Mas.... jangan kuat-kuat nanti air susunya keluar lho", 
"Habis gede banget dan putih Nin. Aku gemes banget." 
 
Kakiku aku kangkangkan, dan Mas Wira mulai naik ke atas tubuhku. vaginaku siap 
dicoblos. Pelan-pelan kepala penisnya menempel ke lubangku, ditekan pelan, masuk, 
masuk dan akhirnya masuk semuanya. Kami langsung menikmatinya. Karena sudah 

satu bulan lebih tidak masuk ke vaginaku, waah Mas Wira langsung ngotot deh, 
nafsu banget. "Mas.. alon-alon lho. Kok langsung ngotot siih." "Nin.. aku pengin 
banget. Begitu masuk pelirku langsung nikmat banget. Aku pasti cepat keluar niih. 
Nggak apa-apa ya Nin. Aduuh nikmat banget Nin", katanya dengan terus 
mengocokku. 
"Kalau sudah mau keluar langsung dicrootkan saja lho Mas. Nggak usah ditahan-
tahan. Aku juga sudah nikmat kok. Dicrotkan di luar saja lo Mas", kataku sambil 
mengelus punggungnya. Mas Wira tidak menjawab, hanya terus menyetubuhiku 
dengan penuh semangat. 
"Nin aku mau keluar... mau keluaar. Aduuh keluar.. Nin." Mas Wira cepat mencabut 
penisnya. Cepat kusambar dan kugenggam kuat-kuat. Spermanya muncrat-muncrat 
di atas perutku. Mas Wira langsung lemas dan terguling di sampingku. Aku 
membersihkan penis Mas Wira dan sperma yang berantakan di atas perutku. 
"Enaak Mas.." bisikku sambil tersenyum. 
"Aduuh nikmat banget Nin. Sudah ngampet sebulan. Sayang 10 menit sudah keluar 
yaa... Kamu sudah puas belum Nin", katanya sambil memandangku. 
"Nggak apa-apa Mas. Ini kan percobaan. Nanti dipuas-puasin deeh. Tadi aku agak 
takut juga. Habis Mas langsung ngotot saja. Tapi ternyata lama-lama nikmat juga. 
  Besok lagi ya Mas." Kami tertawa, berciuman lagi. Mesra. Aku bahagia sekali.
Mungkin bagi sebagian pembaca menganggap hubungan suami-istri seperti kisahku 
ini adalah hal yang sudah semestinya. Sehingga sensasinya tidak begitu mencekam 
lagi, karena itu sudah hal yang biasa dan wajib dilakuka n oleh sepasang suami istri. 
Dan kami memang selama ini berhubungan badan secara normal-normal saja. 
Konvensional dan tidak pernah aneh-aneh. Paling-paling Mas Wira masuk lewat 
belakang dengan berbaring miring atau aku menungging.  
 
Aku juga tidak senang berada di atas, karena aku malah capai dan masuknya terlalu 
dalam. Aku lebih senang di bawah saja. Aku paling senang kalau kakiku kubuka 
lebar-lebar, dan Mas Wira mencoblos vaginaku (vulva, red) dengan diputar-putar 
disenggolkan klitorisku dan dinding kemaluanku. Tetapi kalau sudah mau keluar Mas 
Wira minta kakiku dirapatkan. Aku kadang-kadang juga capai mengangkangkan 
kakiku karena Mas Wira tidak keluar-keluar spermanya. Biasanya kakiku kurapatkan 
dan Mas Wira pasti langsung tambah semangat. Katanya kalau kakiku dirapatkan 
vaginaku akan menonjol ke atas dan rasanya pelir (penis, red) Mas Wira masuk 
dalam banget, dan buah zakarnya menempel di pangkal pahaku. Katanya kalau 
sudah nikmat sekali rasanya yang masuk tidak hanya penis Mas Wira saja, tetapi 
seluruh badan dan jiwanya masuk ke vaginaku. Luar biasa. Tidak berapa lama kalau 
sudah begitu Mas Wira tidak tahan lagi dan langsung menyemprotkan spermanya 
  dan langsung lemas.
Kami juga punya banyak koleksi film-film biru. Tetapi lama-kelamaan aku jadi biasa 
dan tidak begitu bersemangat untuk nonton. Biasanya Mas Wira menonton di kamar 
tidur kami, sambil tiduran di sampingku. Kalau ada pemain yang penisnya besar dan 
panjang, biasanya Mas Wira memberi tahuku. Dan memang kulihat ada yang besar 
sekali dan panjang sampai tidak kuat berdiri tegak, tetapi menggelantung di antara 
pahanya. "Nin kalau lihat penis segede itu kamu pengin ngrasain nggak Nin. Aku jadi 
minder lho kalau lihat yag segede itu", kata Mas Wira. "Nggak, aku nggak pengin. 
Aku sudah puas dan cape melayanimu, Mas. Jangan kawatir deh. Aku sudah puas 
sama yang ini", kataku sambil meremas penis Mas Wira. Sungguh aku tidak kepingin 
dimasuki penis yang segede itu. Paling-paling malah sakit kegedean. Menurutku 
punya Mas Wira sudah cukup besar dan panjang. Kami pernah mengukur, 
panjangnya 15 cm.  
 

Kalau diameternya aku belum pernah mengukur. Tetapi jelas bagiku penis Mas Wira 
memuaskan vaginaku. Kepalanya licin, mengkilat dan agak lancip. Kepalanya dulu 
agak kemerahan, tetapi makin lama kok makin gelap warnanya, agak kehitam-
hitaman. Aku senang sekali mengelus-elus kepala penis itu dan biasanya Mas Wira 
mendesis-desis kegelian. Kalau sudah kepingin sekali dari lubangnya keluar sedikit 
cairan yang bening dan agak lengket. Menurut pengalamanku selama ini aku tidak 
mempedulikan besar kecilnya penis Mas Wira. Yang penting kami bersetubuh dengan 
penuh nafsu. Sehingga apapun gerakan penisnya Mas Wira akan terasa nikmat sekali 
di vaginaku. Yang penting penis harus tegang dan masuk sampai habis mepet ke 
vaginaku. Aduh kalau sudah begitu aku marem banget deh. Kalau sudah mau keluar 
Mas Wira akan mengocok semakin cepat dan kasar. Aku mengimbanginya dengan 
  merangkul dan mengantolkan kakiku di pantatnya Mas Wira.
Dulu waktu sebelum punya anak, kalau sudah mau ejakulasi penisnya dibenamkan 
dalam-dalam ke vaginaku. Tetapi sekarang karena harus mengatur kelahiran, kalau 
mau keluar, cepat-cepat penisnya dicabut dari vaginaku, cepat kupegang dan 
dikocok-kocok sedikit dan spermanya langsung muncrat di atas perutku dan dadaku. 
Pernah juga menyemprot ke mukaku, karena penisnya waktu itu menghadap ke 
atas. Akhirnya kami sepakat kalau keluar penisnya tidak usah kupegang, tetapi 
langsung ditekankan di pangkal pahaku di samping vaginaku. Mas Wira boleh 
menekan kuat-kuat di lipatan pangkal pahaku itu, karena aku tidak sakit. Tetapi 
kalau ditekankan di atas vaginaku, rasanya sakit tertekan penisnya yang keras 
  kayak kayu itu.
Akhirnya spermanya menyemprot di pangkal pahaku, membasahi rambut 
kemaluanku, dan kadang-kadang menyemprot jauh ke atas sprei. Kata Mas Wira 
kalau ejakulasi penisnya harus tertekan. Kalau penisnya tertekan, ototnya akan 
berkontraksi waktu mau ejakulasi. Katanya rasanya luar biasa. Pernah dicoba waktu 
ejakulasi dibiarkan saja, kata Mas Wira, spermanya hanya menyemprot saja tidak 
disertai kenikmatan seperti dipegang dan dikocok. Tahu-tahu cuma lemas doang. 
Kalau dikeluarkan di dalam vaginaku, yang membuat nikmat karena dibenamkan 
dalam-dalam, sampai bulu kemaluan kami menyatu. Kadang-kadang aku 
merindukan untuk disemprot sperma Mas Wira. Aku kangen dengan sperma Mas 
Wira yang membuat lubangku basah dan licin. Aduh rasanya marem banget deh. 
Sekarang kami bisa begitu hanya pada waktu sehabis mens saja. Begitu paginya 
  selesai mens, malamnya aku pasti minta, "Mas, ayo aku dipejuhi."
Kami juga pernah pakai kondom. Tetapi kami tidak merasa nyaman. Rasanya 
lubangku hanya kemasukan benda mati saja. Demikian juga Mas Wira, katanya dia 
merasa tidak alami. Dia bisa ejakulasi karena selalu ditekankan dalam-dalam. 
Kenikmatan kepala penisnya jadi hilang. Biasanya lama sekali, sampai capai, 
spermanya tidak keluar-keluar. Sekarang kami tidak pernah pakai lagi. Mas Wira 
juga kreatif dalam berhubungan seks. Kami biasa main di kursi tamu, di dapur, di 
kamar mandi dan bahkan di depan jendela yang terbuka di lantai dua. Kalau di kursi, 
aku duduk bersandar di kursi dan membuka kakiku lebar-lebar. Mas Wira 
memasukkan penisnya dari depan dan tangannya bertahan pada sandaran kursi. Aku 
senang dengan posisi ini, karena aku tidak ditindih oleh Mas Wira yang beratnya 69 
  kg. Penisnya juga bisa masuk dalam sekali.
Pernah juga kami main di dapur. Mula-mula Mas Wira merangkul dari belakang 
mempermainkan buah dadaku waktu aku sedang membuat teh. Kami jadi nafsu 
sekali, dan aku duduk di meja dapur. Mas Wira memasukkan dari depan sambil 
berdiri. Kami dapat melihat penis Mas Wira keluar masuk vaginaku. Atau aku 
membelakangi berpegangan meja dapur. Mas Wira masuk melalui belakang. Aku 
tidak begitu suka dengan posisi ini, karena penisnya akan masuk terlalu dalam. 


Kalau sudah selesai, kami harus mengepel lantai, karena spermanya muncrat-
muncrat di lantai dapur. Kalau di depan jendela (di lantai 2), mula-mula kami hanya 
main-main bersenda gurau. Sampai saling memegang dan meraba. Akhirnya kami 
jadi nafsu banget. Aku dicoblos dari belakang, dan aku berpegangan pada jendela. 
  Enak juga lho.
Kalau di kamar mandi sih sering sekali. Tetapi aku pasti kebagian untuk memegang 
dan mengocok penis Mas Wira kalau sudah mau keluar. Setelah itu kami saling 
mencuci. Penisnya bagianku dan vaginaku bagian Mas Wira. Asyik juga lho. Mas 
Wira-ku ini memang kreatif. Pagi-pagi kami berdua saja. Anak kami sedang berada 
di rumah neneknya. Mas Wira sudah siap mau berangkat. Dia mendadak 
menciumku. Kok tumben batinku. Ciumannya agak lama. Akhirnya kami kepingin 
banget. Mas Wira membuka lagi pakaiannya yang sudah rapi. Kami bersetubuh 
cukup lama. Bebas betul. Tidak ada orang lain. Kami saling menggeram dan 
merintih. Setelah selesai kami mandi bareng. Pernah juga Mas Wira sekitar pukul 
09.00 sudah pulang. Kupikir akan mengambil sesuatu. Tetapi tahu-tahu dia berkata 
"Nin aku pengin banget. Makanya aku pulang Ayo dong Nin." Aku melongo dan 
akhirnya tertawa. Oh ala Mas.. Mas, kok kebangeten teman sih. Aku layani Mas Wira 
pagi itu sampai puas. Kami beberapa kali mengulanginya lagi. Kadang-kadang aku 
mengharapkan Mas Wira pulang hanya untuk menyetubuhiku. Asyik juga lho. silakan 
  coba deh.
Dalam hal seks sebenarnya aku sudah puas sekali dipenuhi oleh Mas Wira. Aku 
punya keponakan, yaitu anak dari kakaknya Mas Wira yang tinggal dalam satu 
komplek dengan kami. Keponakan kami itu masih kuliah. Suatu hari Mas Wira 
sedang tidak ada di rumah karena ada tugas ke luar kota selama seminggu dan 
anakku juga sedang ada di rumah neneknya. Kira-kira pukul 19.00 keponakan Mas 
Wira itu, Denny namanya, datang ke rumahku. Aku agak nggak enak juga, malam-
malam aku sedang sendirian kok dia datang ke rumahku. Nampaknya Denny tahu 
bahwa aku sedang sendirian. Mula-mula dia bilang mau cari obat flu, tetapi setelah 
kuberi, dia tidak segera pulang juga. Pembaca harap ketahui bahwa keluarga Mas 
Wira itu orangnya memang cakep-cakep. Yang perempuan cantik-cantik. Denny ini 
tidak kalah dengan Mas Wira. Orangnya tinggi semampai dan kuning. Wajahnya 
tidak ganteng tetapi cantik seperti wanita. Orangnya nampak lebih romantis 
daripada Mas Wira. Kami duduk di ruang tamu. Aku pamit ke dapur untuk membuat 
minum, Aku sedang menyeduh teh, ketika Denny tiba-tiba sudah di belakangku. 
  Sebelum kusadar apa yang terjadi, Denny sudah mendekapku dari belakang.
"Denny, jangan.. jangan, nggak boleh.." kataku sambil berusaha melepaskan diri. 
"Mbaak.. Mbaak Nina", bisiknya sambil menciumi leherku dan telingaku. 
"Mbaak aku kangen banget sama Mbaak. Kasihanilah aku Mbaak. Aku kangen 
banget", bisiknya sambil terus mendekapku erat-erat. 
"Ingat Denny aku tantemu lhoo. istri Oommu .. ini nggak boleh.." kataku sambil 
meronta-ronta. 
  "Aduhh. Mbaak jangan marah yaa. Aku nggak kuaat", bisiknya penuh nafsu.
Tangannya meremas buah dadaku, menciumi leher dan belakang telingaku. Tangan 
kirinya merangkulku dan tangan kanannya tahu-tahu sudah meraba vaginaku. Aduh, 
gilaa, malah bangkit nafsuku. Kalau tadi aku meronta, sekarang aku malah diam, 
pasrah, menikmati remasan di vaginaku. Aku dibaliknya menjadi berhadapan, aku 
didekapnya, dan diciumi wajahku. Dan akhirnya bibirku dikemotnya habis-habisan. 
Lidahnya masuk ke mulutku, dan aku tidak terasa lagi lidahku juga masuk ke 
mulutnya. Denny ini menurutku saat itu agak kasar tetapi benar-benar romantis, aku 
benar-benar terhanyut. Sensasinya luar biasa. 
Mungkin orang diperkosa itu kalau situasinya memungkinkan malah menjadi nikmat 
untuk dinikmati. Aku membalas pelukannya, membalas ciumannya. Kami semakin 
liar. Tangan Denny menyingkap dasterku dan merogoh ke dalam celana dalamku. 
vaginaku didekapnya dan dipijat-pijatnya, diremasnya, dimainkannya jarinya di 
belahan vaginaku dan menyentuh clitorisku. Kami tetap berdiri, aku didorongnya 
mepet menyandar ke tembok. Celana dalamku dipelorotkan di pahaku, sementara 
dia membuka celana dan memelorotkan celana dalamnya. Penisnya sudah tegang 
banget mencuat ke atas. Tangan kananku dibimbingnya untuk memegangnya. 
Aduuh besar sekali, lebih besar daripada punya Mas Wira. Secara reflek penisnya 
kupijat dan meremas-remas dengan gemas. Denny semakin menekan penisnya ke 
vaginaku. Aku paskan di lubangku, dan akhirnya masuk, masuk semuanya ke dalam 
vaginaku. Denny dengan sangat bernafsu mengocok penisnya keluar masuk. Benar-
benar kasar gerakannya, tetapi gila aku sungguh menikmatinya. Penisnya terasa 
mengganjal dan nikmat banget. Aku pegang bokongnya dan kutekan-tekankan 
  mepet ke pangkal pahaku, agar mencoblos lebih dalam lagi.
"Mbaak aku nggaakkk taahaan lagiii..." keluhnya. 
"Di luar saja, di luar saja yaa..." bisikku dengan nafas memburu. 
"Oooh... Mbaakkk..", cepat kudorong pinggulnya ke belakang, sehingga penisnya 
terlepas dari vaginaku. Tangan Denny segera menggenggam penisnya dan 
spermanya muncrat mengenai perut, dasterku dan sebagian tumpah di lantai dapur. 
Kami berpelukan lagi sambil mengatur napas kami. Ya ampun, aku disetubuhi Denny 
dengan berdiri, dipepetkan ke tembok. Gila, aku malah menikmatinya, aku orgasme, 
walaupun hanya dilakukan tidak lebih dari 10 menit saja.  
 
Setelah selesai aku dan Denny cepat-cepat membersihkan diri si kamar mandi. 
Setelah itu kami duduk berdua di sofa. Sambil berpelukan. 
"Denny, aku masih deg-degan dan gemeteran lho..", kataku. 
"Aku sayang sama Mbak Nina", kata Denny. 
"Kamu luar biasa deh Den. Your "little one" keras banget. Nggak little kok tapi BIG", 
kataku sambil tersenyum. 
Denny juga tersenyum, sambil membelai rambutku. 
"Punyaku longgar ya Den? Mas Wira suka bilang gitu. Khan udah buat lewat Andy 
anakku", tanyaku. 
"Enggak kok Mbak, punya Mbak Nina masih oke banget, pasti Oom Wira cuma 
bercanda", kata Denny. 
Kami berdua tersenyum dan mempererat pelukan kami. 
 
Setelah Denny pulang aku jadi ketakutan setengah mati. Jangan-jangan ada orang 
yang tahu. Aduh bisa geger komplek ini. Malam itu aku langsung mandi keramas. 
Setelah mandi, sambil menonton TV di kamarku aku berpikir macam-macam. Aku 
telah selingkuh, apa aku ini diperkosa. Diperkosa? Aku justru menikmatinya. Denny 
itu kurang ajar dan kasar. Tapi penisnya gede banget dan nikmat banget. Mengapa 
Denny kurang ajar kepadaku? Dan pasti dia sudah menaksirku sejak lama. Kalau 
nafsunya naik ke kepala, mengapa dilampiaskan kepadaku? Tetapi mengapa aku 
  juga menikmatinya? Aku ketiduran sampai pagi.
Perselingkuhanku dengan Denny berulang beberapa kali, selalu saat Mas Wira ke 
luar kota. Kami melakukan di kamar tidurku atau di sofa ruang tamuku. Aku seperti 
punya simpanan laki-laki, dan aku benar-benar menikmati persetubuhan colongan 
itu. Karena dilakukan dengan takut-takut ketahuan orang, akhirnya selalu terburu-
buru, tetapi sensasinya luar biasa. Memabokkan, dan membuatku kecanduan. 
Hubunganku dengan Denny berakhir, setelah dia selesai kuliahnya dan mendapat 
pekerjaan di kota lain. Sebelum dia pergi, aku sengaja menghindar untuk tidak 

menemuinya. Waktu dia pamit ke rumahku, aku pergi lewat pintu belakang pura-
pura tidak tahu. Dia ditemui Mas Wira saja. Aku akan melupakannya. Harus 
melupakannya. Aku wajib menjaga keutuhan rumah tanggaku yang telah aku bina 
bertahun-tahun. Akhirnya aku melupakannya. Sekarang hanya penis Mas Wira yang 
  memasuki vaginaku. 
 




Tidak ada komentar: