Rabu, 10 September 2008

Selingkuh dengan Ketua RT

Aku tinggal di kompleks perumahan BTN di Jakarta. Suamiku termasuk orang yang selalu sibuk. Sebagai arsitek swasta, tugasnya boleh dibilang tidak kenal waktu. Walaupun dia sangat mencintaiku, bahkan mungkin memujaku, aku sering kesepian. Aku sering sendirian dan banyak melamun membayangkan betapa hangatnya dalam sepi itu Mas Adit, begitu nama suamiku, mengeloni aku. Saat-saat seperti itulah yang membuat libidoku naik. Dan apabila aku nggak mampu menahan gairah seksualku, aku ambil buah ketimun yang selalu tersedia di dapur. Aku melakukan masturbasi membayangkan dientot oleh seorang lelaki, yang tidak selalu suamiku sendiri, hingga meraih kepuasan.

Yang sering hadir dalam khayalan seksualku justru Pak Parno, Pak RT di kompleks itu. Walaupun usianya sudah di atas 50 tahun, 20 tahun di atas suamiku dan 27 tahun di atas umurku, kalau membayangkan Pak Parno ini, aku bisa cepat meraih orgasmeku. Bahkan saat-saat aku bersebadan dengan Mas Adit pun, tidak jarang khayalan seksku membayangkan seakan Pak Parnolah yang sedang menggelutiku. Aku nggak tahu kenapa. Tetapi memang aku akui, selama ini aku selalu membayangkan kemaluan lelaki yang gede sekali. Nafsuku langsung melonjak kalau khayalanku sampai ke sana. Dari tampilan tubuhnya yang tinggi, tegap, dan berisi walaupun sudah tua, aku bayangkan kontol Pak Parno pastilah kekar dan kokoh. Gede, panjang dan pasti tegar dilingkari dengan urat-urat di sekeliling batangnya. Ooohh… betapa nikmatnya dientot kontol macam itu…

Di kompleks itu, di antara ibu-ibu atau istri-istri, aku merasa akulah yang paling cantik. Dengan usiaku yang 28 tahun, tinggi 168 cm dan berat 56 kg, orang-orang bilang tubuhku sintal sekali. Mereka bilang aku seperti Sarah Ashari, selebrity cantik yang binal adik dari Ayu Ashari bintang sinetron. Apalagi kalau aku sedang memakai celana jeans dengan blus tipis yang membuat buah dadaku yang besar dan montok ini membayang. Hatiku selangit mendengar pujian mereka ini…

Pada suatu ketika, tetangga kami punya hajatan, menyunatkan anaknya. Biasa, kalau ada tetangga yang punya kerepotan, kami seRT rame-rame membantu. Apa saja, ada yang di dapur, ada yang mengurus pelaminan, ada yang membuat hiasan atau menata makanan dan sebagainya. Aku biasanya selalu kebagian membuat pelaminan. Mereka tahu aku cukup berbakat seni untuk membuat dekorasi pelaminan itu. Mereka selalu puas dengan hasil karyaku.
Aku menggunakan bahan-bahan dekorasi yang biasanya aku beli di Pasar Senen. Pagi itu ada beberapa bahan yang aku butuhkan belum tersedia. Di tengah banyak orang yang pada sibuk macam-macam itu, aku bilang pada Mbak Surti, yang punya hajatan, untuk membeli kekurangan itu.

‘Kebetulan Bu Mar, tuh Pak Parno mau ke Senen, ’mbonceng saja sama dia…’ Bu Kasno memberitahuku sambil menunjuk Pak Parno yang tampak paling sibuk-dan paling macho di antara bapak-bapak yang lain.

‘Emangnya Pak Parno mau cari apaan?’ dengan dag-dig-dug aku bertanya.
‘Inii, mau ke tukang tenda, milih bentuk tenda yang mau dipasang nanti sore. Sama sekalian sound systemnya…’ Pak Parno menjawab tanpa menengok ke arahku.

‘Iya deh… aku pulang ’bentar ya Pak Parno. Biar aku titip kunci rumah buat Mas Adit kalau pulang nanti…’ Percakapan kami berjalan seperti air mengalir tanpa menjadikan perhatian pada orang-orang sibuk bekerja disitu.
Sekitar 10 menit kemudian, dengan celana jeans dan blus kesukaanku, aku sudah duduk di bangku depan, mendampingi Pak Parno yang mengemudi Kijangnya. Udara AC di mobil Pak Parno terasa sangat nyaman sesudah sepagi itu diterpa panasnya udara Jakarta. Pelan-pelan terdengar alunan dangdut dari radio Mara yang terdapat di mobil itu.
Saat itu aku jadi ingat kebiasaanku mengkhayal. Dan sekarang ini aku berada dalam mobil hanya berdua dengan Pak Parno yang sering hadir sebagai obyek khayalanku dalam hubungan seksual. Tak bisa kutahan, mataku melirik ke arah selangkangan di bawah kemudi mobilnya. Dia pakai celana drill coklat muda. Aku lihat di arah pandanganku itu tampak menggunung. Aku nggak tahu apakah yang menggunung itu? Tetapi khayalanku membayangkan itu mungkin kontolnya yang gede dan panjang.

Saat aku menelan ludahku membayangkan apa yang ada di balik celana itu, tiba-tiba tangan Pak Parno tiba dan menepuk pahaku.
‘Dik Marini mau beli apaan? Di Senen sebelah mana?’ sambil dia sertai pertanyaan ini dengan nada kebapakan. Dan aku bener-bener kaget, lho! Aku nggak pernah membayangkan Pak RT ini kalau bertanya sambil meraba yang ditanya.

‘Kertas emas dan hiasan dinding, Pak. Di sebelah toko mainan di pasar inpress ituu…’ walaupun jantungku langsung berdegup kencang dan nafasku terasa sesak memburu, aku masih berusaha menganggap tindakan Pak Parno di pahaku ini adalah hal yang wajar. Tetapi rupanya Pak Parno nggak berniat mengangkat lagi tangannya dari pahaku, bahkan ketika dia jawab balik,
‘Ooo, yyaa.. aku tahu…’ tangannya kembali menepuk-nepuk dan mulai diraba-rabakannya pada pahaku, seakan sentuhan seorang bapak yang melindungi anaknya. Ooouuiihh.. aku merasakan kegelian yang sangat, aku langsung merasakan desakan erotik, mengingat dia selalu menjadi obyek khayalan seksualku. Dan saat Pak Parno merabakan tangannya lebih ke atas, menuju pangkal pahaku, reaksi spontanku adalah menurunkannya kembali ke bawah. Dia ulangi lagi, dan aku kembali menurunkan. Dia ulangi lagi, dan aku kembali menurunkan. Anehnya aku hanya menurunkannya, bukan menepisnya. Yang aku rasakan, aku ingin tangan kekar itu memang tidak diangkat dari pahaku. Hanya aku masih belum siap untuk kemungkinan yang lebih jauh. Nafasku yang langsung tersengal dan jantungku yang berdegap-degup kencang belum siap menghadapi kemungkinan yang lebih menjurus.

Pak Parno mengalah. Tetapi bukan mengalah seperti dugaanku semula. Dia tidak lagi memaksakan tangannya untuk menggapai ke pangkal pahaku, tetapi dia rubah gerakannya. Tangan itu kini mulai meremas-remas pahaku. Gelombang nikmat erotik langsung menyergapku. Aku mendesah tertahan. Aku menjadi lemas, tak punya daya apa-apa kecuali membiarkan tangan Pak Parno meremas pahaku. ‘Dik Maarr…’ dia berbisik sambil menengok ke arahku.

Tiba-tiba di depan melintas bajaj, memotong jalan. Pak Parno sedikit kaget. Otomatis tangannya melepas pahaku, meraih presnelling dan melepas injakan gas. Kijang ini seperti terangguk. Sedikit badanku terdorong ke depan. Selepas itu tangan Pak Parno dikonsentrasikan pada kemudi. Jalanan ke arah Pasar Senen yang macet membuat pengemudi harus sering memindah presnelling, mengerem, menginjak gas dan mengatur kopling. Aku senderkan tubuhku ke jok. Aku nggak banyak ngomong. Aku ingin tangan Pak Parno itu kembali ke pahaku. Kembali meremas-remas. Dan seandainya tangan itu merangkak ke pangkal pahaku akan kubiarkan. Aku kini disesaki oleh syahwat birahi yang menggelora. Mataku kututup untuk bisa lebih menikmati apa yang barusan terjadi dan membiarkan pikiranku mengkhayal jauh ke awan.

Apa yang kuinginkan pun benar terjadi. Sesudah jalanan agak lancar, tangan Pak Parno kembali ke pahaku. Aku mendiamkannya. Aku merasakan kenikmatan yang tadi, datang kembali. Jantungku pun seketika berdegup kencang, terpacu oleh birahiku. Dan nafasku tiba-tiba saja menjadi sesak, dipenuhi rangsangan birahi akibat remasan liar di pahaku itu. Merasakan lampu hijau dariku, langsung saja tangan Pak Parno meremas-remas pahaku. Dan tangan yang nakal itu mulai merayap naik ke pangkal pahaku. Kucoba untuk menahan tangannya. Eeeii… malahan tanganku ditangkapnya dan diremas-remasnya. Dan aku pun pasrah. Aku merespon remasannya. Rasanya nikmat untuk menyerah pada kemauan Pak Parno. Aku hanya menutup mata dengan tetap bersender di jok sambil remasan di tangan dan di paha terus berlangsung.

Sesekali aku menyeletuk, ‘Entar dilihat orang lho Pak’ kucoba mengingatkannya.
‘Ah, nggaakk mungkin, kaca mobilnya khan gelap. Orang nggak bisa melihat ke dalam’ timpalnya. Aku percaya apa yang dia katakan. Sesudah beberapa saat saling meremas tangan dan paha, rupanya desakan birahi pada Pak Parno juga menggelora.
‘Dik Mar.. kita jalan-jalan dulu mau nggak?’ dia bertanya dengan berbisik.
‘Ke mana Pak..?’ pertanyaanku yang disertai harapan dan impianku.
‘Ada deh.. Pokoknya Dik Mar mau khan…?’ tanyanya lagi.
‘Terserah Pak Parno… Tapinya entar ditungguin orang-orang… entar orang-orang curiga lho’ sahutku.
‘Iyaa, jangan khawatirr… paling lama sejamlah…’ tandas Pak Parno sambil mengarahkan kemudinya ke tepi kanan mencari arah belokan. Aku nggak ingin bertanya padanya ’Mau ngapain sejam?’

Persis di bawah jembatan penyeberangan dekat daerah Galur, Pak Parno membalikkan mobilnya kembali menuju ke arah Cempaka Putih. Ah… Pak Parno, pasti sudah biasa dengan hal begini. Mungkin sama perempuan atau istri orang lainnya. Aku tetap bersandar di jok sambil menutup mataku pura-pura tiduran. Dengan penuh gelora dan degupan kencang jantungku, aku berusaha menghadapi kenyataan bahwa beberapa saat lagi, mungkin hanya dalam hitungan menit, aku akan mengalami saat-saat yang sangat menggetarkan. Saat-saat indah dan nikmat seperti yang sering aku khayalkan. Aku nggak bisa lagi berpikir jernih. Edan juga aku ini… apa kekurangan Mas Adit, kenapa demikian mudah aku menerima ajakan selingkuh Pak Parno ini. Bahkan sebelumnya, belum pernah sekalipun selama 8 tahun pernikahan aku disentuh apalagi digauli lelaki lain.
Yang aku rasakan sekarang ini hanyalah aku merasa aman dekat dengan Pak Parno. Pasti dia akan menjagaku dan melindungiku. Pasti dia akan memperlakukanku dengan halus, mesra, dan lembut. Bagaimana pun dia adalah Pak RT kami yang selama ini selalu mengayomi dan melindungi warganya. Pasti dia nggak akan merusak citranya sendiri dengan perbuatan yang dapat membuat aku sakit atau terluka. Dan rasanya aku ingin sekali bisa melayani dia yang selama ini selalu menjadi obyek khayalan seksualku. Biarlah dia bertindak sesuatu padaku sepuasnya. Dan aku penasaran, bagaimana caranya memuaskanku, apakah sama dengan yang selama ini ada dalam khayalanku? Aku pun menjadi gemetar. Tangan-tanganku gemetar. Lututku gemetar. Kepalaku terasa panas. Darah akibat desakan birahi yang naik ke ke kepalaku membuat wajahku bengap. Dan semakin mobil mendekat ke tujuannya, semakin yakin diriku, dan aku tidak mungkin mecabut persetujuanku atas ajakan ‘jalan-jalan dulu’ Pak Parno ini.

Tiba-tiba mobil terasa membelok ke sebuah tempat. Ketika aku membuka mata, aku lihat halaman yang asri penuh pepohonan. Di depan mobil tampak seorang petugas berlarian menuntun Pak Parno menuju ke sebuah garasi yang terbuka. Dia acungkan tangannya agar Pak Parno langsung memasuki garasi berpintu rolling door itu, yang langsung ditutupnya ketika mobil telah yakun berada di dalam garasi itu dengan benar. Sedikit gelap. Ada cahaya kecil di depan. Ternyata lampu di atas sebuah pintu yang tertutup. Woo… aku agak panik sesaat. Tak ada jalan untuk mundur. Kemudian kudengar Pak Parno mematikan mesin mobilnya.
‘Nyampai Dik Mar…’ kata Pak Parno sambil menatapku dengan tersenyum mesra.

‘Di mana ini Pak ..?’ terus terang aku nggak tahu di mana tempat ini. Tempat Pak Parno membawa aku ini. Tetapi aku yakin inilah jenis ‘motel’ yang sering aku dengar dari teman-teman dalam obrolan-obrolan porno di setiap acara arisan yang diselenggarakan ibu-ibu kompleks itu. Pak Parno tidak menjawab pertanyaanku, tangannya langsung menyeberang melewati pinggulku untuk meraih setelan jok tempat dudukku. Jok itu langsung bergerak ke bawah dengan aku tergolek di atasnya. Dan yang kurasakan berikutnya adalah bibir Pak Parno yang langsung mencium mulutku dan melumat. Uh..uh..uh.. Aku tergagap sesaat.. sebelum akhirnya aku membalas lumatannya. Kami saling melepas birahi dan menjadi lepas kontrol. Aku merasakan lidahnya yang kasar menyeruak ke rongga mulutku. Dan reflekku adalah menghisapnya. Lidah itu menari-nari di rongga mulutku. Aroma keringat Pak Parno langsung menyergap hidungku. Beginilah rasanya aroma lelaki macam Pak Parno ini. Aroma alami tanpa parfum yang sering dipakai Mas Adit. Aroma tubuh Pak RT yang telah berusia 55 tahun tetapi tetap memancarkan nuansa kelelakian yang selama ini selalu menyertai khayalanku saat bermasturbasi maupun saat aku disebadani Mas Adit. Aroma hewaniah yang bisa langsung menggebrak libidoku, sehingga nafsu birahiku lepas dengan liarnya saat ini…

Sambil melumat, tangan-tangan kekar Pak Parno juga turut merambah tubuhku. Jari-jemarinya berusaha melepaskan kancing-kancing blusku. Kemudian kurasakan remasan jari-jemari kasar pada buah dadaku. Uuiihh… nikmatnya tak tertahankan. Aku menggelinjang-gelinjang. Menggeliat-geliat keenakan sehingga pantatku turut naik-turun dari jok yang aku duduki disebabkan oleh gelinjang nikmat yang dahsyat ini. Sekali lagi aku merasa edaann… aku digeluti Pak RTku sendiri.
Bibir seksi Pak Parno terus melumatku, dan aku menyambutnya dengan sepenuh kerelaan hati. Akulah yang sesungguhnya menantikan kesempatan semacam ini dalam setiap khayalan-khayalan erotikku. Ohh.. Pak Parnoo.. Tolongin akuu Pakee.. Puaskanlah akuuu.. Paak.. Puaskaann dirikuu… jilati tetekku… leherku… perutku… pantatku… memekku… pahaku… semuanya… semua ini untukmu Paak… Aku hauss… Paak… Tulungi akuu Paakk…

‘Kita turun dulu yuk Dik Mar… kita masuk dulu…’ ajak Pak Parno. Dia menghentikan lumatannya, lalu bergegas membuka pintu mobilnya. Begitu masuk ke dalam motel, kami berdua langsung diterpa udara dingin khas AC. Motel ini ternyata bagus juga. Selain berpendingin udara, ada seperangkat televisi, dan pemutar DVDnya, juga cermin besar dekat tempat tidur. Tempat tidurnya pun besar, ukuran spring bed. Di dekatnya ada meja pendek dengan tiga buah kursi di sekelilingnya. Begitu masuk kudengar telepon berdering dari meja itu. Rupanya dari bagian resepsionis motel itu. Pak Parno menawarkan makanan atau minuman apa yang aku inginkan? yang bisa diantar oleh petugas motel itu ke dalam kamar. Aku menyerahkannya ke Pak Parno saja. Aku sendiri buru-buru ke kamar kecil yang tersedia. Aku kebelet ingin kencing.
Saat kembali ke peraduan kulihat Pak Parno sudah telentang di ranjang. Agak malu-malu aku keluar dari kamar kecil ini, apalagi setelah melihat sosok tubuh Pak Parno itu. Dia menatapku dari ekor matanya, kemudian memanggil,
‘Sini Dik Mar… Sini Sayang…’ Uh… uh… uh… Omongan seperti itu.. masuk ke telingaku pada saat-saat begini… aku merasakan betapa panggilan itu sangat merangsang syaraf-syaraf libidoku. Aku, istri yang sama sekali belum pernah disentuh lelaki lain kecuali suamiku, hari ini dengan edannya berada di kamar motel dengan seseorang, Pak Parno, Pak RT kompleks rumahku, yang jauh lebih tua dari suamiku, bahkan hampir 2 kali usiaku sendiri. Dan panggilannya… ’Sini Dik Mar…’ itu terdengar sangat erotis di telingaku.
Aku inilah yang disebut istri yang menyeleweng. Aku inilah istri yang selingkuh… uh uh… uh… Kenapa begitu dahsyat birahi yang melandaku kini. Birahi yang didongkrak oleh pemahaman akan makna kata ’selingkuh’ dan aku tetap melangkah ke dalamnya. Birahi yang dibakar oleh pengertian kata ’menyeleweng’ dan aku terus saja melanggarnya. Uhh… aku nggak mampu menjawab semuanya kecuali rasa pasrah yang menjalar… tanpa ragu aku mendekat ke arah Pak Parno, yang disambut senyuman mesra oleh lelaki tampan itu. Dan saat aku rubuh ke ranjang itu, serta-merta Pak Parno menjemputku dengan dekapan dan rengkuhan di dadanya, aku sudah benar-benar tenggelam dalam pesona dahsyatnya seorang istri yang menyeleweng, yang berselingkuh, dan tidak sabar menunggu momen-momen berikutnya. Momen yang pasti akan memenuhi khayalan seksualku. Kerinduan akan kenikmatan dan kepuasan seksual, yang belum pernah dirasakan penyeleweng pemula seperti aku ini.

‘Dik Mar.. Aku sudah lama merindukan Dik Mar ini… Setiap kali aku lihat gambar bintang film Sarah Ashari yang sangat mirip Dik Mar.. Hatiku selalu terbakar.. Kapan kiranya aku bisa merangkuli Dik Mar macam ini..’ terdengar pujian Pak Parno sambil menatapku dengan mesra. Bukan main ucapan Pak Parno. Telingaku seperti tersiram air sejuk pegunungan. Berbunga-bunga mendengar pujian seindah itu. Dan semakin membuatku rela untuk digeluti Pak Parno yang gagah ini. Pak Parnoo.. Kekasihkuu.. Dia segera berbalik dan menindih tubuhku.
Dia langsung melahap mulutku yang seketika gelagapan, kesulitan bernafas. Dia masukkan tangannya kembali ke blusku. Dirangkulinya tubuhku, ditekankannya bibir seksinya lebih menekan lagi ke bibirku. Disedotnya lidahku. Disedotnya sekaligus ludahku. Sepertinya aku ingin dijadikan minumannya. Dan sungguh aku menikmati kegilaannya ini. Kemudian tangannya dia alihkan, meremas-remas kedua susuku. Hanya sebentar dia melakukannya. Gantian bibirnya yang menjemput susuku dan puting-putingnya. Dia jilat, hisap-hisap, dan sedot-sedot. Habis-habisan. Dan akibatnya, yang datang padaku adalah gelinjang nikmat dari saraf-saraf birahiku yang meronta-ronta. Aku nggak mampu menahan gelinjang ini, diiringi dengan rintihan yang terus-menerus keluar dari mulutku, ’Pakee.. Pakee.. Pakee.. Ampuuun nikmattnya Pakee…’

Tangannya yang lepas dari susuku turun untuk meraih celana jeansku. Dilepaskannya kancing celanaku dan dibuka resluitingnya. Jari-jemarinya yang besar dan kasar itu mendorongnya hingga celanaku merosot ke paha. Kemudian tangan itu merogoh celana dalamku. Aaaiiuuhh… tak terperikan kenikmatan yang mendatangiku. Aku tak mampu menahan getaran jiwa dan ragaku, yang melayang ke langit-langit kenikmatan tak terhingga. Saat jari-jemari itu meraba-raba bibir kemaluanku dan kemudian meremas-remas kelentitku.. aku pun melayang tambah tinggi ke ruang angkasa seksual tak bertepi. Kenikmatan.. sepuluh kenikmatan.. ah.. jutaan kenikmatan Pak Parno berikan padaku lewat jari-jemari kasarnya itu.
Jari-jemari itu juga berusaha merambahi lubang vaginaku. Aku rasakan ujungnya-ujungnya bermain di bibir lubang itu. Cairan birahiku yang sudah menjalar sejak tadi dia toreh-toreh sebagai pelumas untuk memudahkan jari-jemarinya menembus ke lubang itu. Dengan bibir yang terus melumati susuku dan jari-jemarinya yang terus dimainkan di bibir lubang vaginaku.. Ohh.. kenapa aku ini.. Ooohh.. Mas Adit.. maafkanlah akuu.. Ampunilahh.. istrimu yang nggak mampu mengelak dari kenikmatan tiada bertara ini.. ampunilaah aku Mas Adit.. aku telah menyelewengg.. aku nggak mampuu maass..

Pak Parno terus menggumuli tubuhku. Blusku yang sudah berantakan memudahkan dia merambah ketiakku. Dia jilat dan sedot-sedot ketiakku. Dia tampak sekali menikmati rintihan nikmat yang terus keluar dari mulutku. Dia tampaknya ingin memberikan sesuatu yang nggak pernah aku dapatkan dari suamiku. Sementara jari-jemarinya terus menembus lubang vaginaku. Dinding-dindingnya yang penuh saraf-saraf birahi dia kutak-katik, sehingga aku hampir pingsan dilanda badai kenikmatan. Dan tak terbendung lagi, cairan birahiku pun mengalir dengan derasnya.
Yang semula satu jari, dua jari, kini disusul dengan jari lainnya. Kenikmatan yang aku terima pun bertambah. Pak Parno tahu persis titik-titik kelemahan erotis kaum perempuan. Jari-jemarinya mengarah pada G-spotku. Dan tak ayal lagi, hanya dengan jilatan di ketiak dan telusuran jari-jemari kasarnya di lubang vaginaku, aku tergiring sampai ke titik di mana aku nggak mampu lagi membendungnya. Untuk pertama kalinya disentuh oleh lelaki, lelaki yang bukan suamiku pula, Pak Parno berhasil membuatku orgasme.

Saat orgasme itu datang, kupeluk erat-erat tubuh Pak Parno. Kepalanya kuraih dan kuremas-remas rambutnya. Kuhujamkan kukuku ke punggungnya. Aku nggak lagi memperhitungkan akan luka dan rasa sakit yang mungkin ditanggung Pak Parno. Pahaku menjepit erat tangannya, sementara pantatku mengangkat-angkat, tak sabar menginginkan rambahan jari-jemarinya agar lebih dalam menembus ke lubang vaginaku. Lubang milikku yang sedang menanggung kegatalan birahi yang amat dahsyat. Tingkahku itu, terus menerus diiringi rintihan nikmat dari mulutku.
Dan saat orgasme itu datang, aku berteriak histeris. Tangan-tanganku menjambret apa saja yang bisa kuraih. Bantalan ranjang itu teraduk. Selimut tempat tidur itu terangkat lepas dan terlempar ke lantai. Kakiku mengejang menahan kedutan vaginaku yang memuntahkan spermaku. “Sperma” perempuan yang berupa cairan-cairan bening, keluar menderas dari kemaluanku. Keringatku yang mengucur deras mengalir ke mata, pipi, dan ke bibirku. Kusibakkan rambut panjangku untuk mengurangi gerahnya tubuhku dalam kamar berAC ini.

Saat kenikmatan itu telah reda, kurasakan tangan Pak Parno sedang mengusap-usap rambutku yang basah sambil meniup-niupnya dengan penuh kasih sayang. Uh.. uh.. uh.. dia benar-benar mengayomi aku. Dia mengelus-elus dahiku, dia sisiri rambutku dengan jari-jemarinya. Hawa dingin terasa kembali merasuki kepalaku. Dan akhirnya tubuhku mulai merasakan kembali sejuknya AC di kamar motel itu.
‘Dik Mar, Dik Mar hebat sekali yaahh.. Keluarnyaahhh… Istirahat dulu yaa..?! Saya ambilkan minum dulu yaahh..’ tawar Pak Parno dengan suara yang menimbulkan perasaan yang teduh. Aku nggak kuasa menjawabnya. Nafasku masih tersengal-sengal. Aku nggak pernah menduga bahwa aku akan mendapatkan kenikmatan sehebat ini. Kamar motel ini telah menyaksikan bagaimana aku mendapatkan kenikmatan yang pertama kalinya, saat aku menyeleweng dari kesetiaanku pada Mas Adit, untuk digauli dan digumuli oleh Pak Parno, Pak RT kampungku yang bahkan sering menjadi lawan main catur dan voli suamiku di saat-saat senggang. Mas Adit.. Ooohh.. maass.. maafkanlah aakuu.. maass..

Sementara saat aku masih terlena di ranjang, menarik nafas panjang sesudah orgasmeku tadi, Pak Parno terus menciumi bibirku. Dia sodorkan hidungnya ke perutku. Bahkan lidah dan bibirnya bergantian menjilat dan menyedot keringatku. Tangannya tak henti-hentinya meraba-raba selangkanganku dengan gerakan lembut. Aku terdiam. Aku perlu mengembalikan staminaku. Mataku memandangi langit-langit kamar motel itu. Menembus atapnya hingga ke awang-awang. Kulihat Mas Adit sedang sibuk di depan meja gambarnya, sebentar-sebentar stip Staedlernya menghapus garis-garis gambaran pensilnya yang mungkin disebabkan salah tarik.
Mungkin semua ini hanyalah soal perlakuan. Hanyalah perlakuan Mas Adit yang sepanjang perkawinan kami tidak sungguh-sungguh memperhatikan kebutuhan biologisku. Lihat saja Pak Parno barusan, hanya dengan lumatan bibirnya pada ketiakku dan rambahan jari-jemarinya di kemaluanku, telah mampu memberikan kesempatan meraih orgasmeku. Sementara kamu, Mas! setiap kali kamu menggumuliku segalanya berjalan terlampau cepat, seakan-akan kamu diburu-buru oleh pekerjaanmu sendiri. Dikejar-kejar tuntutan tugasmu semata. Lalu kamu peroleh kepuasanmu begitu cepat.

Sementara saat nafsuku mulai menggelegak dan minta dituntaskan, kamu sudah turun dari ranjang dengan berbagai alasan. Ada yang harus diselesaikanlah, si anu sedang menunggu, atau si anu besok mau pergi, dan sebagainya. Kamu ternyata sangat egois. Kamu biarkan aku tergeletak menderita, menunggu kenikmatan birahi darimu, sesuatu yang aku tahu tak pernah datang kepadaku. Menunggu Mas Adit memuaskanku sama saja menunggu salju di Jakarta. Sepertinya aku menunggu godotku… menunggu sesuatu yang aku tahu nggak akan pernah datang padaku…
‘Dik Marni capek ya?’ bisikan lembut Pak Parno menyadarkanku dari lamunan.
‘Nggak Pak. Lagi istirahat saja.. Tadi koq nikmat sekali yaa.. aku sudah nyerah, padahal baru pemanasan saja.. Pakee.. Pak Parno juga hebat lhoo.. Baru di kutak-katik saja aku sudah kelabakkan.. apalagi aku dientot… Hi.. hi.. hi..’ aku berusaha menunjukkan pada Pak Parno betapa berterima kasihnya diriku setelah digumulinya tadi. Aku ingin membesarkan hati Pak Parno yang telah memberikan kepuasan tak terhingga ini.

Rupanya Pak Parno hanya ingin tahu bahwa aku nggak tertidur. Mendengar jawabanku tadi dengan penuh semangat dia turun dari ranjang. Dia ambilkan minuman yang entah kapan sudah tersedia di meja. Dia angsurkan minuman itu kepadaku, yang langsung saja kuhabiskan dalam beberapa teguk. Setelah itu, dia ambil gelas minuman yang sudah kosong itu, dan mulai mengisinya kembali. Kali ini giliran dia yang menghabiskannya. Setelahnya dia berkata padaku setengah berbisik. ”Sekarang biar Pakde memuaskan Dik Mar sepuas hati..”

Pak Parno mulai melepaskan pakaiannya. Hanya saja dia melepaskannya dengan meniru gaya penari striptease lelaki, seperti yang aku lihat di film-film porno itu. Wuuiihhh… aku jadi tergetar dan tambah terangsang melihat tarian stripteasenya Pak Parno. Mula-mula dia lepaskan kemejanya, lalu kaus dalamnya, celana panjangnya, dan terakhir celana dalamnya. Baru pertama kali ini aku melihat lelaki lain telanjang bulat di depanku selain Mas Adit suamiku. Wuuiihh.. aku sangat tergetar menyaksikan tubuh Pak Parno.
Pada usianya yang lebih dari 55 tahun itu, sungguh Pak Parno memiliki tubuh yang sangat seksi bagi kaum perempuan yang memandangnya. Bahunya tampak bidang. Lengannya kekar dengan otot bisep yang tebal. Perutnya nggak tampak membesar, rata dengan otot-otot perut yang keras, seperti papan penggilasan. Pinggang dan pinggulnya ramping, enak dilihat. Bukit dadanya yang kokoh dengan dua putting susu besar kecoklatan, sangat menantang… menunggu gigitan dan jilatan lidah perempuan-perempuan binal. Dari tampilan tubuhnya yang macho ini, aku lihat Pak Parno adalah sosok penggemar olahraga yang fanatik. Otot-otot yang bersembulan di tubuh atletisnya menunjukkan dia sukses berolahraga selama ini.

Pandanganku terus meluncur ke bawah. Dan yang paling membuatku serasa pingsan adalah.. kontolnya.. Aku belum pernah melihat kontol lelaki lain.. tapi kontol yang kusaksikan saat ini begitu dahsyat. Kontol Pak Parno sungguh-sungguh merupakan kontol yang sangat mempesona dalam pandanganku saat ini. Kontol itu gede, panjang, keras hingga tampak kepalanya yang berkilatan. Kepalanya yang tumpul seperti helm tentara Nazi, sungguh merupakan paduan sempurna antara erotisme dan kemaskulinan seorang lelaki. Sangat menantang. Dengan diameter lubangnya yang gede, kontol itu seakan tak sabar menunggu mulut atau kemaluan para perempuan binal yang ingin melahapnya.
Sesudah telanjang, Pak Parno naik kembali ke atas ranjang. Dia berusaha menarik pakaianku; celana jeansku yang sejak tadi masih di menempel di separuh kakiku, kemudian blus dan kutangku turut dilepasnya. Kini aku dan Pak Parno sama-sama telanjang bulat. Pak Parno langsung saja rebah di antara pahaku. Dia langsung menyungsep di selangkanganku. Lidahnya mulai menjilati kemaluanku. Waduuiihh .. Ampunn.. Kenapa cara begini ini nggak pernah aku dapatkan dari Mas Aditt..

Lidah kasar Pak Parno menusuk dan menjilati vaginaku. Bibir-bibir kemaluanku disedot-sedotnya. Ujung lidahnya berusaha menembus lubang vaginaku. Pelan-pelan nafsuku terpancing kembali. Lidah yang menusuk lubang vaginaku itu membuatku merasakan kegatalan birahi yang hebat. Tanpa kusadari tanganku menyambar kepala Pak Parno dan jariku meremas-remas kembali rambutnya sambil mengerang dan mendesah-desah untuk kenikmatan yang terus mengalir. Tanganku juga menekan-nekan kepala itu agar tenggelam lebih dalam ke selangkanganku yang semakin dilanda kegatalan birahi yang sangat. Pantatku juga ikut naik-turun menjemput lidah di lubang vaginaku itu.

Tak lama kemudian, Pak Parno memindahkan dan mengangkat kakiku untuk ditumpangkan pada bahunya. Posisi seperti itu merupakan posisi yang paling mudah bagi Pak Parno maupun bagi aku. Dengan sedikit tenaga aku bisa mendesak-desakkan kemaluanku ke mulut Pak Parno, dan sebaliknya Pak Parno tidak perlu kelelahan untuk terus mengeksplorasi kemaluanku. Terdengar suara kecipak mulut Pak yang beradu dengan bibir kemaluanku. Dan desahan Pak Parno dalam merasakan nikmatnya kemaluanku tak bisa disembunyikan.
Posisi ini membuat kegatalan birahiku semakin tak terhingga membuatku menggeliat-geliat tak tertahankan. Pak Parno sibuk memegang erat-erat kedua pahaku yang dia panggul. Aku tidak mampu berontak dari pegangannya. Dan sampai pada akhirnya di mana Pak Parno sendiri juga tidak tahan. Rintihan serta desahan nikmat yang keluar dari mulutku turut merangsang nafsu birahi Pak Parno yang juga tidak bisa terbendung.

Sesudah menurunkan kakiku, Pak Parno langsung merangkaki tubuhku. Digenggamnya kontolnya, diarahkan secara tepat ke lubang kemaluanku. Aku sungguh sangat menunggu detik-detik ini. Detik-detik di mana bagiku untuk pertama kalinya aku mengijinkan kontol orang lain selain suamiku merambah dan menembus memekku. Seluruh tubuhku kembali bergetar, seakan terlempar ke awang-awang. Sendi-sendiku bergetar.. tak sabar menunggu kontol Pak Parno menembus kemaluanku.. Aku hanya bisa pasrah.. Aku nggak mampu lagi menghindar dari penyelewengan penuh nikmat ini… Maafin aku Mas Adit..
Aku menjerit kecil saat kepala tumpul yang bulat gede itu menyentuh dan langsung mendorong bibir vaginaku. Rasa kejut saraf-saraf di bibir vaginaku langsung bereaksi. Saraf-saraf itu menegang dan membuat lubang vaginaku menjadi menyempit. Dan akibatnya seakan tidak mengijinkan kontol Pak Parno itu menembusnya. Dan itu membuat aku penasaran…
‘Santai saja Dik Mar.. biar lemesan..’ terdengar samar-samar suara bariton Pak Parno di tengah deru hawa nafsuku yang menyala-nyala.

‘Pakee.. Pakee.. ayyoo.. Pakee tulungi saya Pakee.. Puas-puasin ya Pakee.. Saya serahin seluruh tubuh saya untuk Pakee..’ kedengarannya aku mengemis minta dikasihani.
‘Iyaa Dik Marr.. Sebentar yaa Dik Marr..’ balas Pak Parno dengan suara bariton yang parau, yang juga diburu oleh nafsu birahinya sendiri.
Kepala helm tentara itu akhirnya berhasil menguak gerbangnya. Bibir vaginaku menyerah dan merekah. Mengijinkan kontol Pak Parno menembusnya. Bahkan kini vaginakulah yang aktif menyedotnya, agar seluruh batang kontol gede itu bisa dilahapnya. Uuhh.. aku merasakan nikmat desakan batang yang hangat dan panas memasuki lubang kemaluanku. Sesak. Penuh. Tak ada ruang dan celah yang tersisa. Daging panas itu terus mendesak masuk. Rahimku terasa disodok-sodoknya. Kontol itu akhirnya mentok di mulut rahimku. Terus terang belum pernah seumur pernikahanku, rahimku merasakan disentuh kontol Mas Adit. Dengan sisa ruang yang longgar, kontol suamiku itu paling-paling menembus ke vaginaku sampai bagian tengahnya saja. Saat dia tarik maupun dia dorong aku tidak merasakan sesak atau penuh seperti yang kurasakan pada kontol Pak Parno saat ini.

Kemudian Pak Parno mulai melakukan pemompaan. Ditariknya pelan kemudian didorongnya. Ditariknya pelan kembali dan kembali didorongnya. Begitu dia ulang-ulangi dengan frekwensi yang semakin sering dan semakin cepat. Dan aku mengimbangi secara reflek. Pantatku langsung pintar. Saat Pak Parno menarik kontolnya, pantatku juga menarik kecil sambil sedikit mengebor. Dan saat Pak Parno menusukkan kontolnya, pantatku cepat menjemputnya disertai goyangan igelnya.
Demikian secara beruntun, semakin cepat, cepat, cepat, cepaatt.. ceppaatt… Payudaraku bergoncang-goncang, rambutku terburai, keringatku dan keringat Pak Parno mengalir deras dan berjatuhan di tubuh masing-masing. Mataku dan mata Pak Parno sama-sama melihat ke atas dengan hanya menyisakan sedikit bagian putih matanya. Pacuan birahi yang semakin cepat kami lakukan juga membuat ranjang kokoh itu ikut berderak-derak. Lampu-lampu tampak bergoyang, semakin kabur, kabur, dan kabur… Sementara rasa nikmat yang kami rasakan semakin dominan. Seluruh gerak, suara, nafas, desah, dan rintih hanyalah nikmat saja isinya…
‘Mirnaa.. Ayyoo.. Enakk nggak kontol padee Mirr? enak yaa.. enak Mirr.. ayyoo bilangg enak mana kontolku sama kontol si Adit? Ayoo Mirr enak mana sama kontol suamimu? ayoo bilangg! ayyoo enakan manaa?’ terdengar Pak Parno meracau.
‘Pakee.. enhaakk.. pakee.. Enhakk kontol pakee.. Panjangg.. Uhh gedhee sekali.. Pakee.. Enakan kontol Pak Parnoo..’ jawabku. ’Ahhh… Ohhh… Bener… Mirnaahh… Ennaakkhh… Ohhh… aahh… kontol… Padee… Mirnaa… Ooohhh… sayaanngg…?’ tuntut Pak Parno lagi. ’Ohhh… Aahhh… Yaahhh.. Pakee.. Benerhhh… Sumpaahhh… Ennaakkhh.. Kontolsshh… Pakeehh…’ jawabku lagi. Selanjutnya aku yang ganti meracau… ’Kalau… Ohhh… aahhh… Assoyyhh… Ennaakhh… Maannaahh.. Memekkhh.. Mirnaahh… Samaahh.. Memekkhh… Ohhh… ahhss… Bu… Tantrihh…?’ (Bu Tantri itu istrinya Pak Parno). ’Ouuhh… ahhss… Ahhss… Ouhhhss.. Saamaahh.. Samaahh.. Ennakhhss.. Saayaangghh…’ ’Uhhh… ahhss… oohhss.. kaalaauuhh… samaahh… memekkhh… oohhh… Bu… Sintaahh…?’ Racauku lagi. (Bu Sinta adalah bendahara di RT kami). ’Oohh… aahss… aahss… oouhhh… aaahh… eennaakhhh… memekkhh.. Mirnaahh… Ouuhh… jepitaannhh… nyaahh… kerasaa… bangethhh… Ohhh… yaaahh… terusshh… jepithhh… kontolsshh… Padeee… Mirhhh…!’

Begitulah… racauan birahi antara aku dengan Pak Parno. Tanpa terasa posisi nikmat ini berlangsung bermenit-menit. Kulihat dari kaca di ruangan itu, pemandangan lelaki dan perempuan yang sedang asyik bersebadan, bersimbah keringat, membuat birahiku semakin bertambah ribuan kali lipat dan gerakan kami bertambah liar saja. Kemudian, tak lama sesudahnya, kuminta Pak Parno berganti posisi. Kali ini aku minta bercinta dengan dipangkunya. Pak Parno menyambut antusias usulanku itu…
Blleepp… blleepp… pllaakk… pllaakk… plllaakkk… bunyi itu terdengar kala milik Pak Parno kembali tertelan oleh milikku. Pada posisi ini, aku bisa mudah menciumi dan menggigiti bukit dada Pak Parno sekaligus menghisap-hisap putingnya. Sedangkan Pak Parno dapat dengan puas menyusui susu dan menyedot puting susuku. Sesekali dia merambahi leher dan ketiakku, untuk dia jilati dan hisap-hisap permukaan kulitnya…

Tanpa terasa pergumulan birahi ini sudah berjalan lebih dari 1 jam. Suasana erotis tampak sangat indah dan menonjol. Erangan dan desahan erotik keluar bersahut-sahutan dari mulut kami. Kulihat tubuh kekar Pak Parno tampak berkilatan karena keringatnya. Dan hal itu membuat Pak Parno jauh terlihat seksi di mataku. Kulihat keringatnya mengalir dari lehernya, terus ke dada bidangnya, dan akhirnya ke perut enamnya. Dengan gemas kupermainkan putting susunya yang berkilatan itu. Kugigiti, kujilati, kuremas-remas. Dan Pak Parno yang merasakan itu, tambah buas gerakannya. Sodokan kontolnya tambah kencang di memekku dan kurasakan tangan-tangannya yang kasar merambahi payudaraku…
Gelombang demi gelombang kenikmatan membuat kami semakin liar saja dalam memompa dan dipompa. Pinggul dan pinggangku bergerak-gerak liar, memainkan batangan gede nan panjang serta hangat yang sejak tadi aktif memompa memekku. Kujepit, dan terus kuhisap-hisap kontol Pak Parno dengan memekku, membuat dia menjadi seperti layang-layang yang mau putus. Kurasakan nafasnya mendengus-dengus seiring desah dan raungan nikmatnya, merasakan betapa liarnya milikku memainkan tongkat saktinya. Sepasang tangan nya berulang kali meremas-remas pantat dan payudaraku, seakan-akan ingin berusaha mengendalikan gerakanku yang semakin liar saja. Hanya saja aku tidak mau kalah. Semakin kuat remasan tangannya di pantat dan payudaraku, semakin kasar dan bertenaga aku bergerak naik-turun…
’Ouuhh… Oouhhh… Mirnaahh… Luaarsshh… Biaasssaahh… Mmemeekkhhh… Muuhh… Oouuuhh… Jepitaannyaahh… Kuaathh… Ouuhh… Ahhss…’ terdengar kembali racauan birahi dari Pak Parno. ’Aahhss… aahhss… Ooouhh… Ooohh… Aaahss… Kontolsshh… Paakeehh… Ayyohhh… Paakkeehh… Lebbihh… Keraasshh… Laagihhh…’ jeritku memberinya semangat.

Mata Pak Parno beberapa kali tampak merem melek, sesekali memandangiku dengan ekspresi wajah sarat nikmat, di lain saat dia terpejam, berusaha meresapi gerakan pinggulku dalam memainkan kontolnya.
Setelah selusin pompaan kemudian… Pak Parno memintaku untuk berganti gaya lagi. Kali ini dia mau menyetubuhiku dengan gaya anjing. Setelah kami saling memposisikan diri, kontol Pak Parno kembali lagi menghajar memekku. Ah.. Uhh.. uhhh.. Uhhh… nikmatnya luar biasa… sebelumnya tak pernah kurasakan kenikmatan seperti ini. Suamiku tetap tidak mampu memberikan kepuasan bercinta walaupun berbagai gaya sudah kami lakukan. Berbeda dengan Pak Parno. Sejak tadi dia sukses membuatku keluar dua kali, masing-masing dari setiap gaya yang kami lakukan…
Kurasakan kontolnya yang dahsyat itu terasa sekali gesekan dan alur-alur urat batangnya ke dinding dalam memekku. Apalagi ujungnya yang mirip helm tentara Nazi itu. Terasa sekali sundulannya ke mulut rahimku… Ouuhh.. dahsyat sekaliii… kenikmatan yang kurasakan semakin membuatku melambung ke langit yang ke seratus… ke seribu… ke sejuta… ah ke yang tak terhingga deh!!! Sambil tak lepas menghajar memekku dari belakang, tangan kekar Pak Parno tidak lepas-lepasnya meremas-remas payudaraku, memainkan puting-putingnya, menampar-nampar pantatku, dan menusuki lubang anusku dengan jari-jemarinya yang besar. Tak ayal kenikmatan yang aku terima pun semakin menggila… paduan remasan di payudara dengan tamparan di pantat dan tusukan jari di anusku membuat aku mampir ke puncaknya untuk yang keempat kalinya…

Pada akhirnya, setelah hampir 2 jam kami bercinta, aku mendapat orgasmeku 5 kali secara berturut-turut. Itu yang ibu-ibu sering sebut sebagai multi orgasme. Bukan mainn.. hanya dari Pak Parno aku bisa meraih multi orgasmeku inii.. Oohh Pak Parnoo.. terima kasihh.. Pak Parno mau memuaskan akuu.. Sekarangg ayoo.. Pakee biar aku yang memuaskan kamuu..
10 menit kemudian… dengan terus mendengus-dengus memompa memekku dengan gerakan yang semakin cepat, kurasakan tanda-tanda dia akan keluar. Kurasakan kepala dan batang kontol Pak Parno mulai membesar dan membesar, akhirnya… diiringi jeritan nikmatnya, kontol Pak Parno aku rasakan berdenyut keras dan kuat sekali… Kemudian menyusul denyut-denyut berikutnya. Pada setiap denyutan aku rasakan vaginaku sepertinya disemprot air kawah yang panas. Sperma Pak Parno berkali-kali muntah di dalam vaginaku. Mungkin ada sekitar 7 kali muntahan spermanya dalam vaginaku. Setelahnya, Pak Parno berusaha membenamkan dalam-dalam kontolnya, seakan memastikan tidak ada cairannya yang tersisa di rongga batangnya. Untuk sesaat, kami bersikap seperti patung dalam gaya anjing ini, sebelum akhirnya kami ambruk bersama ke atas ranjang…

Uhh… Aku jadi lemess sekali… Nggak pernah sebelumnya aku capek bersanggama. Kali ini seluruh urat-urat tubuhku serasa bertanggalan. Dengan telanjang bulat kami sama telentang di ranjang motel ini. Di sinilah akhirnya terjadi untuk pertama kalinya aku serahkan nonokku beserta seluruh tubuhku kepada lelaki yang bukan suamiku, Pak Parno. Dan aku heran.. pada akhirnya.. tak ada rasa sesal sama sekali dari hatiku pada Mas Adit. Aku sangat ikhlaskan apa yang telah aku serahkan pada Pak Parno tadi. Dan dalam kenyataan aku mendapatkan imbalan kepuasan seksual dari Pak Parno yang kemampuan dan stamina bercintanya sangat hebat.
Di motel ini aku mengalami 5 kali orgasme. Empat kali beruntun aku mengalami orgasme dalam satu kali persetubuhan berganti posisi, dan yang pertama sebelumnya, hanya dengan gumulan, ciuman, dan jilatan Pak Parno di ketiakku sembari tangannya mengobok-obok kemaluanku, aku bisa mendapatkan orgasme yang sangat kuimpi-impikan selama ini. Hal itu mungkin disebabkan karena adanya sensasi-sensasi indah yang timbul dari sikap penyelewengan yang baru kali ini aku lakukan. Yaa.. pada akhirnya aku toh berhak mendapatkannya.. kenikmatan seksual dalam bercinta… tanpa harus menunggu Mas Adit yang memberikannya sendiri padaku, karena dia sangat egois.

Sesungguhnya aku ingin tinggal lebih lama lagi di tempat birahi ini, apalagi saat kulihat betapa seksinya Pak Parno, telanjang bulat dan berkeringat, tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya. Bisa kulihat pemandangan bukit dadanya yang indah itu, seakan-akan menggodaku untuk mengeksplorasinya lebih jauh. Juga bibir seksinya untuk dipagut. Namun Pak Parno mengingatkan bahwa waktu bersenang-senang yang pertama kali kami lakukan ini sudah cukup lama. Pak Parno khawatir orang-orang di kompleks kami menunggu dan bertanya-tanya. Pak Parno mengajak selekasnya kami meninggalkan tempat ini dan kembali menyelesaikan pekerjaan yang telah kami janjikan pada Mbak Surti dalam rangka membantu hajatannya.
Setelah kami mandi dan membersihkan tanda-tanda yang kemungkinan mencurigakan, kami kembali ke jalanan. Ternyata kemacetan jalan menuju ke Senen ini sangat parah di siang hari ini. Dengan adanya pembangunan jembatan layang pada belokan jalan di Galur, antrean mobil macet sudah terasa mulai dari pasar Cempaka Putih. Mobil Pak Parno terasa merangkak. Untung AC mobilnya cukup dingin sehingga panasnya Jakarta tidak perlu kami rasakan.
Sepanjang kemacetan ini pikiranku selalu kembali pada peristiwa yang barusan aku alami bersama Pak Parno tadi. Lelaki tua ini memang hebat. Dia sangat kalem dan tangguh. Dia sangat sabar dan berpengalaman menguasai perempuan. Dialah yang terbukti telah memberikan padaku kepuasan seksual yang sejati. Paduan kesabaran, keterampilan, wajah gantengnya, tampilan ototnya yang kekar, postur tubuhnya yang tinggi dan tegap, serta kontol gedenya yang indah membuat aku langsung takluk secara ikhlas padanya. Aku telah serahkan seluruh tubuhku padanya. Dan Pak Parno tidak sekedar menerimanya untuk kepentingannya sendiri, tetapi dia sekaligus membuktikan bahwa kenikmatan hubungan seksual yang sebenar-benarnya adalah apabila pihak lelaki dan pihak perempuannya bisa mendapatkan kepuasannya secara adil dan setara. Dan aku merasakannya.. tapi.. Benar adilkah..?

Ah.. pertanyaan itu tiba-tiba mengganguku. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku bahwa dari hubungan badan tadi, aku berhasil merasakan orgasmeku hingga 5 kali. Sementara Pak Parno hanya mengeluarkan spermanya sekali saja. Artinya dia meraih kepuasan dalam hubungan seksual dengan aku tadi hanya sekali. Ahh.. adakah hal ini menjadi masalah untuk hubunganku dengan Pak Parno selanjutnya..? Kenapa dia banyak diam sejak keluar dari motel tadi…?

Aku menjadi gelisah, aku kasihan pada Pak Parno apabila dia masih menyimpan dorongan birahinya. Apabila belum seluruh cairan birahinya secara tuntas tertumpah. Bukankah hal demikian itu bagi lelaki akan menimbulkan semacam kegelisahan…? Apa yang harus aku lakukan…??
‘Pak, tadi puas nggak Pak..?’ aku memberanikan diri untuk bertanya.
‘Bukan main Dik Mar, aku sungguh sangat puas!’ begitu jawabnya.
Suatu jawaban yang sangat santun yang justru semakin memperbesar kekhawatiranku. Jawaban macam itu pasti akan keluar dari setiap ‘gentleman’ macam dia. Aku harus mengamatinya dari sudut yang lain. Kulihat di bawah kemudi Kijangnya. Tampak celananya masih menggunung. Artinya kontolnya masih mengaceng. Aku nekat. Kuraba saja tonjolan di celananya itu.

‘Ininya koq masih ngaceng Pak? Masih mau yaa?? Tadi masih mau lagi yaa??’ sambil tanganku terus memijit-pijit gundukan itu. Dan terbukti semakin membesar dan mengeras. Pak Parno diam saja. Aku tahu dia pasti menikmati pijatanku ini. Aku teruskan. Tanganku meremas-remas, mengurut-urut.
‘Hheehh.. dik Marr.. enak sekali tangan Dik Marr yaa…’ erang Pak Parno.
Biarlah, aku akan memberikan padanya apa yang aku bisa lakukan. Dengan berbagai gaya, tanganku terus meremas-remas dan memijit-pijit gundukan kontol itu. Tetapi lama kelamaan justru tanganku sendiri yang semakin menikmati kegiatan itu. Dan semakin lama justru aku yang semakin kelimpungan. Aku kenang kembali kontol gede ini yang 40 menit yang lalu masih memenuhi kemaluanku. Yang tanpa meninggalkan celah sedikit pun mengisi rongga vaginaku. Dan ujungnya inilah yang untuk pertama kalinya bisa mentok ke dinding rahimku.. ah nikmatnya..
‘Pakee.. Aku mau lagii…’ aku berbisik lembut dengan setengah merintih.
‘Kita cari waktu lagi Dik Mar… gampang… lain kali Dik Mar ’khan bisa bilang pada Mas Adit, mau ke Carrefour atau ke Mangga Dua, cari barang apa… gitu?’ tawar Pak Parno.
‘Iyaa siihh.. Boleh dibuka ya Pak? Aku mau lihat lagi nih jagoan Pak?’ tanyaku sambil melempar senyum dan melirikkan mataku ke Pak Parno, ingin melihat reaksinya.

‘Boleehh…’ dia jawab tanpa melihat ke aku, karena keramaian lalu lintas yang mengharuskan Pak Parno berkonsentrasi.
Tanganku pun sigap. Pertama-tama kukendorkan dulu ikat pinggangnya. Kemudian kubuka kancing utamanya. Selanjutnya kuraih resluitingnya hingga tampak celana dalamya yang kebiruan. Di belakang celana dalam itu membayang alur daging sebesar pisang tanduk yang mengarah ke kanan. Oouu.. ini kali yang namanya stir kanan.. Kalau stir kiri, mengarahnya ke kiri tentunya…
Dengan tidak sabar kubetot kontol Pak Parno dari sarangnya… Melalui pinggiran kanan celana dalamnya, kontol Pak Parno mencuat keluar. Gede, panjang, dan tampak kepalanya yang bulat berkilatan. Pada ujung kepala itu ada secercah titik bening. Oooww.. baru sekarang ini aku berkesempatan memperhatikan kontol ini dari jarak yang sangat dekat, bahkan dalam genggamanku.
Rupanya precum Pak Parno telah terbit di ujung kepalanya. Precum itu muncul dari lubang kencingnya. Uuuhh.. indahnyaa.. bisakah aku menahan diri..??
‘Pak Parno mau khan…?? mau entotin aku lagi ’khan?’ kembali aku berbisik, mengajaknya untuk bercinta lagi.
‘Heehh.. ya mau dong Dik Mar. Dik Mar mau bantu Pak Parno nih..??’ timpalnya kemudian.
‘Gimana bantunya Pak? Ayoo.. berhenti duluu! Kita cari tempat lagii.. Hayoo.. Pak…!’ jawabanku enteng dan setengah memelas.
‘Nggak bisa begitu dong, Dik Mar… kita nggak mungkin berhenti lagi. Ya ini ’khan macet nih jalanan… Maksudku, apakah.. eehh.. Dik Mar marah nggak kalau aku bilang ini ..??’ tandas Pak Parno.

‘Nggak apa-apa Pak… saya rela koq. Saya mau bantu Pake… bener-bener lho Pak!’ tandasku lagi.
‘Hmmm… kalau gitu… Dik Mar pernah menghisap punya Mas Adit ’khan?’ pancingnya.
‘Ooo.. Kk.. kaalau ii..ttuu terus terang aku belum pernah Pak… kalau lihat punya Mas Adit rasanya aku geli gituu… jijikk gituu..!’ jelasku dengan apa adanya.
‘Kalau lihat punya saya inii…?’ Pak Parno terus mendesak dengan pertanyaan yang terus terang aku nggak bisa menjawabnya secara cepat.
Masalahnya aku dihadapkan pada sesuatu hal yang benar-benar belum pernah aku lakukan, bahkan tidak sekali pun terbayang dalam khayalan seksualku. Pasti yang Pak Parno inginkan adalah aku mau menghisap-hisap kontolnya itu. Betul ’khan? Tapi aku juga berpikir cepat.. Tadi sewaktu di motel, Pak Parno membenamkan wajahnya ke selangkanganku tanpa risah-risih. Kemudian dijilatinya vagina, kelentit, lubang kemaluan, dan anusku. Dia juga turut menelan cairan-cairan birahiku hingga tuntas. Aku menjadi ingat prinsip adil dan setara yang aku katakan tadi.
Mestinya aku yaa… nggak usah ragu-ragu untuk berlaku sama dengan apa yang telah dilakukan Pak Parno pada kemaluanku. Dia telah menjilati dan menghisap-hisap kemaluanku. Dan aku terus terang sangat menikmati jilatan dahsyatnya. Sekarang tampaknya Pak Parno seakan menguji diriku. Bisakah aku bertindak adil dan setara juga pada dirinya. Aku membayangkan kontol itu di mulutku…

‘Dik Mar, sperma itu sehat lhoo! Bersih, steril, dan banyak vitaminnya. Itu dokter ahli lho yang ngomong. Cobalah, kontol Pak Parno ini pasti sedap kalau Dik Mar mau mengulumnya…’ aku sepertinya mendengar sebuah permohonan.
Aku kasihan juga pada Pak Parno. Mungkin dia sudah mengharapkan hal ini sejak awal jalan bersama dari rumah tadi. Mungkin bahkan dia sudah mengharapkan jauh dari beberapa waktu yang lalu. Kini saat aku sudah berada di sampingnya, harapan itu nggak terkabul. Ah, aku jadi iba… Kulihat kembali kontol indah Pak Parno. Yaa.. benar-benar indah… apa artinya indah itu? Kalau memang itu indah.. sudah semestinya kalau aku menyukainya. Kalau aku menyukainya mestinya aku nggak jijik ataupun geli … Lihatlah precum itu… Indah bukan? bening, murni, dan mungkin juga wangi… dan juga bisa asin… Banyak lho yang sangat menyukainya… menjilatinya, menghisapnya… meminumnya cairannya…
Tahu-tahu aku sudah merunduk, mendekatkan wajahku, mendekatkan bibirku ke kontol Pak Parno yang indah itu. Dan tanpa banyak tanya lagi aku telah mengambil keputusan… Ah.. ujung lidahku kini menyentuh, menjilat, dan merasakan lendir lembut dan bening milik Pak Parno. Yaahh… rasa asinnya begitu lembutt…

‘Dik Maarr… Uhh enakk sekali… sihh… Ohh… terusshh…’ kepalaku mulai dielus-elusnya. Tak lama, dia sibakkan rambutku agar tidak menggangu keasyikanku mengulum kontolnya. Dan selanjutnya dengan penuh semangat aku mengulum kontol Pak Parno di mobil yang sempit itu. Kemudian Pak Parno sedikit memundurkan tempat duduknya, memberikan kesempatan padaku untuk menikmati ’pisang tanduk’nya.

‘Dik Marr.. Terus Dik Marr.. Kamu pinter sekali siihh.. uuhh Dik Marr..’ aku terus memompa dengan lembut. Banyak kali aku mengeluarkan kepala itu dari mulutku.. Aku menjilati tepi-tepinya.. Pada pangkal kepalanya ada alur semacam cincin atau bingkai yang mengelilingi kepala itu. Dan sobekan lubang kencingnya itu… kujilati habis-habisan…

‘Marr.. Marniihh… Oohhh… Terusshh… aahhss… enakkkhh sekaliiihh…’ terdengar racauan Pak Parno kembali. Sekitar 15 menit kemudian, sambil terus mendesah-desah nikmat tanpa henti, tibalah Pak Parno di puncaknya. Sambil terus mendengus-dengus dia berkata; ’Ohhh…Aahss… Dikk… Marrr… Saayaangg… aku mau keluar nihh Dik Marr.. Ohh… Akuuhh… Ohhh… Aku mau keluar nihh…!’ erangannya tambah kuat dan duduknya kurasakan semakin gelisah. Aku tidak menghiraukan kata-katanya, mungkin maksudnya semacam peringatan untukku, jangan sampai air maninya tumpah di mulutku. Dia masih khawatir mungkin aku belum bisa menerima semburan maninya.

Tetapi apa yang terjadi padaku kini sudah langsung berbalik 180 derajat. Rasanya justru aku kini yang merindukannya. Dan aku memang merindukannya. Aku mau sekali merasakan sperma seorang lelaki jantan dan macho macam Pak Parno, langsung tumpah dari kontolnya ke mulutku. Lelaki yang bukan suamiku sendiri. Aku terus menjilati, menyedot, dan menghisap-hisap… Batangnya, pangkalnya, kepalanya, sedapat mungkin bibir atau lidahku meraihnya, disebabkan tempat yang sempit ini. Semua bagian kontolnya itu aku rambahi terus-menerus dengan mulut dan lidahku.
Dan pengalaman pertama itu akhirnya hadir. Saat mulutku mengulum batangan gede nan panjang milik Pak Parno itu, aku rasakan kembali ada kedutan besar dan kuat. Kedutan itu kemudian disusul dengan kedutan-kedutan berikutnya. Kalau yang aku rasakan di motel tadi adalah kedutan-kedutan kontol Pak Parno dalam lubang vaginaku, sekarang hal itu aku rasakan di rongga mulutku. Diiringi erangan nikmatnya, kontol Pak Parno pun memuntahkan laharnya. Cairan, atau tepatnya lendir yang hangat nan panas menyemprot ke langit-langit rongga mulutku. Sperma Pak Parno tumpah ruah memenuhi mulutku. Entah berapa kali kedutan tadi. Tetapi sperma dalam mulutku ini nggak sempat aku telan seluruhnya karena saking banyaknya.
Sperma Pak Parno berleleran di pipiku, daguku, dan juga ke kening dan rambut panjangku. Kontol Pak Parno masih berkedut-kedut saat kukeluarkan dari mulutku. Dan aku raih kembali untuk kuurut-urut agar semua sperma yang tersisa di batangnya, bisa terkuras habis keluar. Mulutku langsung menyedotnya. Sekali lagi, pengalaman pertama dalam menyeleweng ini, benar-benar memberiku pengalaman baru yang sangat sensasional bagiku. Dan aku semakin yakin hal-hal itu nggak mungkin aku dapatkan dari Mas Adit, suamiku tercinta.

Sesuai rencana, aku diturunkan di Pasar Senen oleh Pak Parno. Sungguh aku merasa keberatan untuk perpisahan ini, walaupun kami bisa bertemu lagi. Kugenggam tangannya erat-erat, untuk menunjukkan betapa besarnya arti Pak Parno bagiku saat itu. Pak Parno juga tampaknya keberatan dengan perpisahan ini. Bisa kurasakan tatapan mesranya sebelum melepas tanganku. Sebelum berpisah, kami sempat membuat janji untuk mengulangi lagi peristiwa nikmat ini di lain waktu. Aku pun berjalan dengan gontai saat menuju toko kertas dekorasi di pasar itu.
Sesaat aku turun dari taksi sesampainya di rumah, kulihat Mbak Surti tampak cemberut. Aku biarkan. Pada teman yang lain aku beralasan banyak bahan yang aku cari, stoknya sudah habis sehingga aku menunggu cukup lama. Di ujung jalan sana kulihat mobil Kijang Pak Parno. Mungkin dia sudah lama lebih dahulu sampai di kompleks. Orang-orang pemasang tenda dan pengatur sound system sudah mulai melaksanakan tugasnya. 2 jam lagi acara akan dimulai.
Aku pamit pulang sebentar untuk menengok rumah. Mas Adit belum pulang. Aku mandi lagi sambil mengenang peristiwa indah yang kualami sekitar 2,5 jam yang lalu. Saat sabunku menyentuh kemaluanku, masih tersisa rasa pedih pada bibir kemaluannya. Ketika kuperiksa, tampak beberapa rambut ada dalam genggaman tanganku. Mungkin rambut-rambut itu adalah jembut Pak Parno yang tersangkut saat kontolnya keluar- masuk menembus memekku dalam berbagai posisi tadi. Dan itu biasanya menimbulkan luka kecil yang terasa pedih pada bibir vaginaku saat terkena sabun seperti ini.

Aku hanya tersenyum kala melihat jembut-jembut Pak Parno itu. Langsung saja terbayang di mataku apa yang akan kami lakukan malam nanti, kalau suamiku tidak jadi pulang dan istri Pak Parno beserta anak-anaknya jadi pulang ke kampung halamannya di Salatiga sana setelah acara sunatan itu selesai. Aku hanya berharap agar keberuntungan kembali lagi terjadi pada kami, seperti tadi siang. Sekarang yang perlu aku lakukan hanyalah bersiap-siap, sebelum semuanya berlangsung sesuai harapanku…

Tidak ada komentar: