Rabu, 10 September 2008

Sperma Lelaki Lain Di Celana Dalam Ningsih

Begitu turun dari kapal di suatu pagi di Tanjung Priok, Joko tetangga sebelahku telah menungguku. Dia menggelandangku untuk mampir makan di Saiyo Bundo warung Padang kesukaanku tidak jauh dari dermaga. Sembari makan dengan rakusnya, dengan penuh antusias dia menceritakan bahwa selama 4 minggu terakhir ini dia melihat dengan perasaan curiga. Seorang lelaki usianya sekitar 52 tahun, 17 tahun lebih tua dari aku, setiap tiga hari sekali termasuk tadi pagi sekitar pukul 5 terlihat keluar dari rumahku. Dia curiga istriku pasti telah berselingkuh dengan lelaki itu.

Mendengar omongan Joko, teman akrab dan tetangga dekatku yang tak pernah kuragukan kejujuran dan sikap tanpa pamrihnya sepertinya aku sangat terpukul. Shock, limbung. Jiwaku menjadi tergoncang. Aku jadi merasa disepelekan, diabaikan, dikalahkan, dihina, ditinggalkan. Martabat dan harga diriku dihancurkan, diluluhlantakkan. Langsung terbayang di mataku. Seorang lelaki tua seumur bapaknya menggauli dia, Ningsih istriku yang baru berusia 27 tahun itu. Mungkin lelaki tua yang gagah perkasa seperti yang sering di utarakan Ningsih padaku agar aku banyak berolah raga supaya gagah perkasa. Lelaki tua itu bercumbu, berasyik masyuk melepaskan syahwat birahinya pada istriku.
Terbayang bagaimana istriku yang sangat mendambakan lelaki perkasa, dia menggigit dadanya yang bidang dengan sepenuh gairah birahinya. Tentu Ningsih akan mendesak-desakkan pantatnya, seperti yang dia sering lakukan padaku juga, tak sabar menunggu penis lelaki itu menembus vaginanya. Kubayangkan pula bagaimana Ningsih akan mendesah atau merintih nikmat saat menerima tusukan penis Pak tua itu di kemaluannya. Aku paham kelakuan liar Ningsih saat berada di ambang orgasmenya. Kubayangkan dia bergelinjang sambil menggeliat-geliatkan pinggulnya, tak sabar menahan gatal syahwatnya.

Saat dorongan ejakulasinya mendesak untuk memancar keluar dari lubang vaginanya, tangan-tangannya pasti akan mencengkeram atau mencakar punggung Pak tua itu hingga membuatnya luka. Bayangan-bayangan erotis di atas semakin membuatku sebagai lelaki atau suami seakan tak ada artinya. Aku seakan sepenuhnya menjadi pecundang yang melata terseok-seok di tanah. Tetapi aneh.. juga mengherankan. Kenapa bayangan erotis tentang Ningsih yang telah membuat aku begitu tercampak itu tidak juga membakar rasa cemburuku. Ada lelaki lain yang hadir dan berasyik masyuk dengan istriku saat aku berlayar di tengah lautan, demi masa depan perkawinanku dengan istriku yang telah 5 tahun kunikahi.

Aku memang merasa terbakar dan terpanggang hidup-hidup. Aku seakan penasaran dan tak mampu menghindarkan rasa hati yang membara, tetapi bukan karena cemburu. Bahkan kemaluanku tiba-tiba mengeras. Penisku mulai berdiri tegak mendorong dari dalam celanaku. Apakah yang sedang terjadi pada diriku? Mungkinkah laporan ini telah langsung merubah kepribadianku? Merubah orientasi seksualku? Ah, apakah aku harus membenarkan cerita Joko ini? Apa dia tak salah lihat? Bukankah Ningsih selalu menunjukkan cinta dan kesetiaannya padaku selama perkawinan kami ini? bukankah tak sekalipun Ningsih berselingkuh sebelumnya? Walaupun Joko yang sudah kuyakini sebagai tetangga yang paling jujur dan baik, aku tidak boleh begitu saja percaya pada ceritanya. Sebaiknya aku lekas pulang. Aku harus membuktikannya sendiri.

Ningsih terlihat terkejut saat aku tiba di rumah. Memang seharusnya aku belum pulang saat ini. Tetapi karena kapalku harus mengisi bahan bakar maka aku bisa pulang ke rumah. Aku tidak menunjukkan kecurigaan apa-apa saat ketemu istriku. Aku merangkulnya dengan hangat sambil mencium keningnya. Begitu pula Ningsih. Dia menyambutku dengan penuh rindu. Ia cium pipiku dan kemudian merembet ke mulutku. Dia melumat kumis dan mulutku. Kami lalu asyik berciuman bertukar lidah. Aku sempat meremas pelan payudaranya yang besar dan montok itu.

Sesungguhnya istriku adalah perempuan yang sangat seksi. Penampian fisik Ningsih sangatlah menggemaskan mata para lelaki. Aku harus menyisihkan banyak saingan saat hendak melamarnya. Di lingkungan desanya Ningsih adalah kembangnya. Keindahan fisik Ningsih sering jadi bahan omongan para lelaki baik yang masih bujangan maupun yang sudah beranak pinak.

Menurut pendapatku keindahan fisik Ningsih adalah kecantikan alami yang mudah membangkitkan syahwat kaum lelaki. Tubuhnya tinggi, padat, dan kencang. Dengan ukuran tubuhnya yang langsing dan semampai, dengan baju apapun Ningsih akan terlihat menarik dan anggun. Bibirnya, leher jenjangnya, rambut hitamnya yang indah, dadanya yang montok dengan buah dada yang besar… hhhuuuhhh Sungguh membuat penis para lelaki langsung berdiri, penasaran ingin merasakan nikmat jepitan vaginanya.

Pinggul dan pantatnya terlihat sangat serasi saat berjalan, membungkuk atau pun sedang duduk. Saat melihat Ningsih melenggang di jalanan orang-orang Jawa banyak berkomentar ‘macan luwe’ atau harimau yang lapar. Langkah-langkah kakinya saat bergerak maju yang diikuti oleh ayunan pinggul, pantat, lenggang lengan serta ayunan bahu.. Wwoow.. Aku tak mampu menceritakan keseksian istriku, yang begitu mengundang hasrat birahiku…

Kenyataan yang lebih hebat lagi adalah Ningsih selalu seperti kuda betina nan binal setiap kali melayaniku di atas ranjang. Dia selalu terlihat haus menunggu dipuaskan olehku. Ningsih ini memang termasuk perempuan yang tak mudah dipuaskan syahwatnya. Aku sering berpikir, seberapa jauh aku bisa mengimbangi hasrat birahinya. Atau, mampukah aku selama ini memberikan kepuasan seksual ke istriku?! Apakah hanya karena itu yang menyebabkan lahirnya cerita si Joko tetanggaku itu? Mungkinkah aku terlampau lama melaut hingga Ningsih tak mampu menahan gelora syahwatnya? Ah.. memang selama ini aku selalu khawatir setiap kali memikirkan Ningsih yang menggairahkan ini saat aku berada di tengah samudera. Bayangan batinku tentang kehadiran lelaki lain memang sering membuat hati merana.

Aku sering membayangkan seandainya hal itu benar terjadi. Aku menjadi sangat terpukul oleh bayanganku sendiri. Seperti biasa setiap pagi Ningsih pergi belanja ke pasar. Pagi itu saat hendak berangkat dia menawari aku ingin makan apa. Dia akan memasak makanan kesukaanku. Aku serahkan pada dia untuk memilihnya. Aku ingin dia lekas keluar rumah ke pasar. Aku ingin melihat-lihat keadaan rumah, siapa tahu ada petunjuk tentang kehadiran lelaki tua itu.

Aku amati perabotan di rumah. Mungkin ada rokok yang tertinggal. Lalu benda-benda khas lelaki lainnya. Aku buka lemari pakaiannya. Adakah hal yang mencurigakan? Mungkin minyak wangi, baju baru, atau hadiah apa saja dari pemberian lelaki tua itu. Kemudian kulihat tas tangannya lalu dompetnya. Siapa tahu di situ ada benda-benda yang pantas dicurigai. Ternyata aku tak menemukan apa-apa. Aku lantas duduk diam. Memikirkan kemungkinan lainnya. Achh, siapa tahu..
Aku pergi ke kamar mandi. Aku periksa pakaian kotornya yang tergantung di kamar mandi. Bukankah tadi pagi Joko masih memergoki lelaki tua itu?! Aku lihat blus, BH, dan roknya. Kuamati dengan cermat. Kulihat ada noda-noda keringatnya yang membentuk seperti peta itu. Hal itu tidak membuatku curiga. Kini kuraih celana dalam Ningsih yang berwarna merah motif kembang-kembang lembut. Kuamati dengan cermat pula. Di arah selangkangannya, kemudian di bagian yang menutupi vaginanya.

D
i situ aku tiba-tiba.. Deg.. Jantungku berdegup kencang.. Aku melihat ada kilatan lendir yang menempel. Jariku cepat meraba.. Kembali.. Deg.. Benar.. Aku meraba lendir. Saat kuperhatikan terlihat olehku gumpalan lendir seperti putih telur.. Lengket dan kental diraba, juga hampir mengering. Berarti peristiwanya belum lama. Aku bisa pastikan ini peristiwa malam tadi. Lendir ini milik lelaki tua itu. Mungkin celana dalam ini dipakainya untuk mengorek sperma yang menggumpal di lubang vagina istriku. Sperma yang ditumpahkan lelaki itu. Berkali-kali kuamati celana itu sampai aku yakin bahwa lendir ini adalah sperma. Sperma lelaki lain yang menempel di celana dalam istriku. Ah.. Kenapa kamu bisa begini Ningsihi…?!

Sekali lagi, kenyataan yang kutemukan ternyata tidak juga membakar rasa cemburuku. Bahkan penisku lansung tegak, saat menyaksikan adanya sperma lelaki lain di celana dalam Ningsih. Spontan jari-jariku berusaha merasakan citra dari sperma itu. Rasanya ingin dan pasti sangat menyenangkan apabila aku bisa mendapatkan lebih banyak lagi spermanya. Hidung dan mataku pun telah mencium aroma khas sperma yang menempel di celana dalam ini. Aku mencoba mendekatkan ke hidungku dan menghirup aromanya.

Aku pun dikejar oleh rasa penasaran. Bukan karena rasa cemburu, melainkan rasa penasaran untuk mewujudkan khayalan seksualku saat istriku menggauli dan digauli oleh lelaki tua yang gagah perkasa, dengan sepenuh gairah birahinya. Bayangan seksual saat Ningsih mendesak-desakkan pantatnya, seperti yang selalu dia lakukan padaku, tak sabar menunggu penis lelaki itu menembus vaginanya. Lalu bayangan seksual ketika Ningsih mendesah atau merintih penuh nikmat saat ditusuk penis Pak tua itu di kemaluannya. Penisku pun tegak sempurna. Tangan kananku merasa sangat haus, ingin sekali melakukan onani sembari menonton adegan seksual antara sang lelaki dengan Ningsih.

Akhirnya aku perlu bersiasat. Aku mempersiapkan cara untuk mengintai kamar pengantinku. Aku pelajari situasi di luar kamar pengantinku. Lalu aku mengambil bangku plastik bekas yang ringan dari gudang untuk pijakan berdiri. Bangku plastik itu akan kugunakan untuk mengintai dari kisi-kisi jendela kamar itu. Kemudian mulai kusamarkan bangku itu di antara pot-pot tanaman hias yang tersebar di halaman rumah. Siasat selanjutnya adalah, membuat Ningsih dan lelaki tua itu dihinggapi rasa kerinduan untuk bercumbu. Aku manfaatkan masa liburanku yang hanya lima hari ini untuk tinggal di rumah. Seperti biasanya, sebagai suami istri kami menghabiskan waktu untuk berasyik masyuk menyalurkan syahwat birahi.

Pada pagi hari keempat, aku beralasan kepada Ningsih bahwa aku telah menerima telepon panggilan dari bos, nakhoda di kapal kerjaku untuk memeriksa mesin. Itulah tugasku selama ini di kapal saat sedang berlabuh, mengecek keadaan mesin kapal selama menunggu bahan bakar. Prosesnya memerlukan waktu seharian lebih. Mungkin aku perlu bermalam di kapal, untuk menyelesaikan tugas. Dengan memperlihatkan ekspresi masih memendam rindu, istriku dengan berat hati melepas aku pergi ke kapal.

Aku memang pergi, tetapi bukan ke kapal. Aku menyelinap masuk ke rumah Joko yang kebetulan lagi sendirian. Istri bersama anaknya sedang pulang mudik. Joko menyatakan setuju membantuku memata-matai tingkah laku istriku. Solidaritas tetangga, katanya. Aku menunggu hari gelap di rumahnya sambil bermain catur dan kartu bersamanya. Sesekali aku melongokkan kepalaku dari jendela Joko, mengintip ke arah rumahku. Tunggu punya tunggu hingga pukul 10 malam, tampaknya tidak ada tanda-tanda lelaki tua itu akan datang ke rumah. Aku pun menjadi kecewa. Aku khawatir acara mata-mata ini akan gagal. Suasana rumahku dan sekelilingnya pun menjadi sepi. Aku menduga istriku saat ini mungkin sudah terlelap tidur. Dia termasuk orang yang tidak suka bergadang.

Joko sendiri, yang awalnya bersedia membantuku telah tertidur lelap di sofanya. Dia begitu kelelahan menemaniku mengintai seharian. Dia memang tipe orang yang tak tahan melek. Aku tak akan membangunkannya. Aku sendiri yang terbiasa tidur lewat tengah malam, tetap memantang mata duduk di kegelapan beranda rumah Joko, mengawasi arah rumahku. Ketika jarus menunjukkan pukul 10 lebih 10, tiba-tiba lampu depan rumahku.. Pet… Mati… Pasti istriku yang mematikan lampu itu. Ternyata dugaanku salah sebelumnya. Dia belum tidur.

Sekeliling rumahku menjadi bertambah sepi, karena malam yang sudah larut juga ditambah udara dingin setelah diguyur hujan lebat selama hampir 2 jam pada sore harinya. Aku mendadak menjadi tegang. Ada apa ini? Kenapa? Apakah hal ini pertanda sang arjuna akan datang sehingga kedatangannya harus dirahasiakan? Ternyata aku tidak perlu menunggu jawaban terlalu lama. Sekitar 5 menit sesudah lampu dimatikan, dari arah kanan yang merupakan arah pelabuhan, sekitar 50 m dari rumahku terlihat seseorang berjalan dalam kegelapan.

Dari temaramnya lampu jalan, terlihat agak jelas sosok orang itu. Yaa… Seorang lelaki. Dari temaramnya lampu jalan, aku bisa melihat sekilas wajah dan postur tubuhnya. Hei, ternyata lelaki tua itu ganteng juga, mengingatkan aku pada wajah aktor Gunawan, yang suaminya aktris Paramitha itu. Lelaki yang tampaknya sudah berusia separuh abad itu bertubuh tinggi, besar, dan berisi. Mungkin dia orang pelabuhan juga seperti diriku…

Tepat di pintu pagar rumah dia sesaat berhenti. Dia tengok ke arah kanan kiri untuk memastikan tidak ada orang lain yang melihatnya. Kemudian dia bergegas membuka pintu pagar, dan masuk ke halaman rumah di depan jendela kamar pengantinku berada. Lelaki itu mengetok pelan. Mungkin sekitar 3 ketokan pada daun jendela itu. Kemudian dia kembali bergegas ke pintu depan rumah. Aku terus berusaha agar lelaki itu tetap berada dalam pantauan mataku. Aku menjadi tegang, bahkan lebih tegang dari awalnya.

Kuamati terus lelaki dan daun pintu itu. Tak sampai semenit terlihat pintu itu terbuka. Yang terlihat dibaliknya hanyalah kegelapan dan aku tak melihat istriku. Dengan cepat lelaki itu menghilang dan pintunya kembali tertutup. Suasana menjadi sepi kembali. Tetapi saat ini hatiku tidak sepi, bergemuruh bagaikan sebuah pantai yang sedang disapu gelombang tsunami. Gelombang yang pernah menyerang pantai Larantuka, dan melenyapkan jiwa-jiwa manusia di sekelilingnya.

Timbul semacam bara cemburu yang sangat merangsang hasrat birahiku. Namun aku tidak akan menghalangi percumbuan kedua insan ini. Kecemburuanku ini justru menginginkan agar pencurian nikmat syahwat ini berlangsung sukses. Aku sangat ingin menyaksikan ekspresi wajah istriku saat menerima nikmatnya sentuhan lelaki lain. Aku sangat penasaran ingin menyaksikan saat Ningsih membuka pahanya yang putih indah, mengangkang menunggu penis lelaki lain memasuki lubang vaginanya. Aku ingin mendengar erangan nikmat istriku saat penis lelaki lain memompa vaginanya. Duhh…duh… aku menjadi semakin terangsang nih…

Aku menunggu beberapa waktu sebelum mengendap, memasuki halaman rumahku sendiri. Aku berjalan mendekat ke kamar pengantinku dan coba mendengarkan apa yang sedang terjadi… Telingaku menangkap suara tertawa manja istriku. Sepertinya dia sedang menahan kegelian. Kemudian terdengar suara bariton dari seorang lelaki yang terkesan penuh wibawa dan sangat melindungi…

“Ayoo, War.. sini. Jangan takut. Mas akan bantu supaya nggak terasa sakit” .. Hah..?
“Aku khan belum pernah, Mas. Lagian geli, gitu lho” terdengar jawaban istriku manja.
“Jangan khawatir, pelan-pelan saja kok. Biar kuludahi dulu agar licin” terdengar suara bariton itu membujuk.
“Ad.. Akhh.. Adduhh.. Pelan Mass.. Hachh.. Aacchh..” terdengar istriku merintih.
“Dikit Lagii.. Huuchh..” suara bariton itu mulai semakin parau.
“Huucchh, Ampuunn.. Sudah Mass.. Jangaann..” terdengar kembali rintihan manja istriku. “Huucchh, ohhsss…sempitthhnyaahh…” ujar sang lelaki.
“Akhh…Yahhh…Uhhsss…Terusshhh…Ooohh..Awwhhh…Masshhh…” timpal istriku.

Edan.. Omongan penuh birahi itu membuatku sangat tegang. Apa yang sedang dilakukan Ningsihku bersama lelaki itu? Sepertinya dia berusaha menolak sesuatu yang disodorkan padanya tetapi tidak sungguh-sungguh menolaknya, bahkan membiarkannya berlangsung terus. Aku yakin ini pasti bukan tindak kekerasan seksual atau sejenis perkosaan. Si lelaki itu sendiri tampaknya sedang berusaha mengejar kenikmatan yang tak terhingga dari istriku;

“Jokoahh…Ohhss…Ningsihhh…Ennaakkhh…?! Ayyoohh…Bilangsshh…!”
“Ampuunn, Maass.. Enakk bangeett.. Dduh.. Sakiittnyaa..!!”
“Ouhhh…Yaahh…Ahhh…Dikitsshhh…Lagihhh…!”
“Huuucchhh…Yaahhh…Awwsshh…Terusshhh…Aakkhhh…Sakitsshhh!!”

Sekali lagi edan.. Teriakan ‘enak’ dan ’sakit’ datang bersamaan dan beruntun. Serta merta aku beranjak mengambil bangku plastik yang telah kusiapkan sebelumnya. Aku berdiri di atasnya dan melongok ke kisi-kisi jendela kamarku. Hampir saja aku jatuh terguling menyaksikan apa yang telah terjadi di dalam sana. Aku seakan terkena pukul palu penghancur beton. Aku melihat penis lelaki tua itu sedang berusaha memasuki lubang pantat istriku. Sedangkan mereka berdua sudah bugil seperti sepasang anjing yang sedang kawin.

Mataku terbeliak kagum menyaksikan tubuh lelaki tua itu. Dia memiliki tubuh yang sangat seksi, yang menjadi idaman kaum pria selama ini. Tubuh yang tidak kalah bagus dengan tubuh para model majalah kebugaran keluaran luar negeri milik teman kerjaku. Lengannya terlihat besar sekali dengan otot-ototnya yang liat. Terutama otot bisepnya yang begitu besar dan padat. Bahu dan dadanya tampak bidang. Puting susunya yang besar terlihat menghitam, terlihat serasi meghiasi bukit dadanya yang kokoh itu.

Begitu pula dengan bagian tubuhnya yang lain; pinggang yang ramping, punggung yang kokoh, pantat yang seperti dipahat, membuat lelaki tua itu terlihat sangat jantan. Dialah seorang pejantan yang tangguh, dan laksana ksatria yang selalu menang. Tetapi yang paling membuatku kagum adalah ukuran penisnya. Penis lelaki tua itu selain besar dan keras juga panjang, dengan bentuk kepalanya yang sangat indah. Seperti topi tempur para tentara.

Lengkaplah kini kekalahanku. Penampilan fisik sang lelaki benar-benar menempatkan aku menjadi pecundang total. Aku pun yakin selama 3 malam bersamaku sebelumnya, Ningsih tidak melayaniku dengan sepenuh perasaan dan hatinya lagi. Seluruh inderanya pasti hanya tertuju pada kerinduan untuk memperoleh nikmat syahwat yang berlimpah dari lelaki ini. Bahkan telah kuakui kenyataan bahwa diriku kini benar-benar terangsang melihat sosok jantannya.

Aku sangat kehausan, menerima kenikmatan dari perasaan dikecilkan, disepelekan, diabaikan, dikalahkan, dihina, dan ditinggalkan. Aku benar-benar menikmati saat martabat dan harga diriku sebagai seorang suami diluluhlantakkan oleh lelaki tua yang sangat seksi ini. Kenikmatan ini semakin merangsang birahi dan mulai merambati sanubariku ketika kusaksikan, bagaikan sepasang anjing sedang kawin, sang lelaki sedang berusaha menggauli lubang anus istriku.

Penis yang luar biasa itu sedang memasuki pantat Ningsih. Sementara Ningsih yang berusaha dientot anusnya, mengucapkan kata-kata ‘aduh’ dan ‘enak’ secara bersamaan, terlihat semakin keenakan. Satu tangannya aktif mengarahkan penis itu ke lubang pantatnya. Ketegangan penisku kontan langsung sempurna. Aku lalu berkhayal seakan-akan mulutkulah yang menjadi pantat Ningsih. Betapa nikmatnya seandainya hal itu terjadi. Menerima dahsyatnya kenikmatan dari pompaan kemaluan besar sang lelaki di mulutku.

Aku merasakan sakit akibat tegangan penisku yang sudah sempurna ini dari dalam celanaku. Aku segera melepaskan kancing celanaku, lalu membuka resluitingku. Aku lepaskan kemaluanku dari jepitan celanaku, kemudian tanganku mulai mengocoknya agar syahwat birahiku dapat tersalurkan. Terlihat penis sang lelaki mulai bisa dilahap lubang pantat Ningsih. Dengan gerakan-gerakan pelan, katup anal Ningsih semakin terkuak. Mulailah sang lelaki menggerakkan pantatnya maju-mundur mendorong masuk kemaluannya. Ningsih sendiri tidak mau kalah tanggap dari aksi pasangannya, dia spontan menyongsongkan pantatnya ke belakang untuk melahap penis yang dahsyat itu.

Beberapa saat kemudian, diiringi dengan rintihan sakit sekaligus desahan nikmat yang keluar dari mulut Ningsih, lelaki tua itu mulai leluasa mengayun-ayunkan pinggul dan pantatnya untuk memompa penisnya masuk-keluar menembus dubur istriku. Tak lama berayun, aku melihat Pak tua itu merubah posisinya. Tubuhnya rebah menindih tubuh istriku, sambil mulutnya mencium dan melumat tengkuk Ningsih. Kedua tangannya yang kekar meraih lalu meremas-remas buah dada Ningsih yang besar dan montok itu.

Aku terkesima melihat ekspresi wajah istriku. Wajah cantik yang sedang mengarungi lautan birahi itu, matanya setengah tertutup. Kepalanya terkadang mendongak dan di lain waktu merunduk, bagaikan seekor kuda yang terancam bahaya. Sesekali dia kibaskan kepalanya dengan cepat. Rambutnya yang hitam dan indah macam bintang shampoo itu, spontan terlempar ke belakang, menyapu wajah cakep lawan bercintanya yang juga sudah dalam keadaan setengah sadar.
Bibir sang lelaki tidak henti-hentinya memagut tengkuk atau punggung Ningsih yang sudah berkilat karena keringatnya. Pantat lelaki itu terus berayun penuh irama dengan sangat indahnya. Naik-turun, maju-mundur, semakin cepat dan kasar. Gerakan mengayunnya seperti gerakan pantat Zebra liar yang tengah dikejar predatornya di padang rumput Serengeti, Afrika. Mulut Ningsih sesekali menyeringai pedih, di lain saat tersenyum penuh nikmat.

Semakin jelas terlihat olehku, dua insan ini sedang berlomba mengarungi surga duniawi mereka yang begitu lepas dan liar. Aku perhatikan seprei ranjang pengantinku telah teraduk berantakan. Bantalku terlempar ke lantai menindih busana istriku dan busana lelaki itu. Sepertinya busana-busana itu pun sedang berasyik masyuk di mataku. Amppuunn…

Aku tak tahan lagi. Aku tidak cemburu atau sakit hati. Justru aku merasakan nikmat syahwat yang luar biasa di dalam diriku. Menonton adegan mesum yang dilakukan oleh Ningsih dan pasangannya, melihat ekpresi wajah Ningsih yang begitu tampak nikmat berada dalam pompaan lelaki itu, aku mendapatkan sensasi birahi luar biasa yang tak pernah kurasakan sebelum ini. Membayangkan Ningsih telah melupakan aku sebagai suaminya yang sah, membuatku semakin semangat mengocok kemaluanku sendiri. Aku tambah terangsang mendengar suara merintih dan mendesah yang terus keluar dari mulut keduanya. Namun yang paling luar biasa merangsang nafsuku saat kudengar suara bariton lelaki itu lagi;
“Ayoo, Ningsih, enakk nggaakk kontol Masshh?? Enakk?? Enak mana kontolss Masshh atau kontol bojomu (suamimu)?? Ayyoo Ningsihi.. Ngomongg.. Enak mana kontolss Massh atau kontolss si Yantoohh..??”
“Ughhh…Ohhss…Aahsss…Yaahhh…Ennaakkhh…Kontolsshh Masshhh!” timpal Ningsih. Seakan tidak percaya, lelaki itu terus menuntut lagi,
“Benersshhh…Ningsihhh…kontolkuhss…Oohhss…Ahhss…Ennaahhkkk??”
“Aahhss…Hucchhss…Aaahh…Yaahhss…Benersshhh…Ennahhkk” jawab Ningsih lagi.
“Ooohhh…Aaahhh…Yaahhh…Terusshhh…Enttotthhh… Ningsihhhh…Masshhh!!” kali ini Ningsih yang memberikan semangat pada sang lelaki.
“Ohh…Ahhss…Ohhh…Beginihhh…Ningsihhhh…Sayangkuhhh…??” sahut sang lelaki dengan gerak pompaan yang semakin kasar dan liar.
“Awwsshhh…Yaahh…Begituhhh…Maasshhh…Ugghhss…Assooyysshh…Bangethhss” jerit histeris Ningsih.

Mendengar racauan penuh birahi antara Ningsih dan lelaki itu, aku yang telah mendengarnya langsung bergetar. Seluruh tubuhku ikut bergetar, lutut, tangan, kaki, dan anggota tubuhku yang lain. Aku menjadi merinding dan darahku bergejolak hebat. Aku merasakan begitu nikmat mengocok kemaluanku sendiri, sambil mendengar racauan-racauan birahi dari pasangan mesum itu. Akhirnya aku mulai merasakan spermaku akan memancar keluar dari kelenjarnya. Tak lama lagi spermaku akan terkuras karena begitu terangsangnya diriku mendengar racauan birahi keduanya tadi.

Selusin kocokan kemudian, aku pun sampai kepada puncak orgasmeku. Dengan hasrat nikmat yang belum pernah kualami, aku berteriak tertahan sementara mataku terbeliak hanya mensisakan warna putihnya saja. Sikap berdiriku mulai goyah, lalu mulai oleng dan akhirnya aku jatuh terjengkang. Pegangan tanganku pada kisi-kisi jendela itu luput. Aku melayang jatuh ke arah belakang, terjerembab jatuh ke tumpukan puing bekas renovasi rumahku. Entah terluka atau tidak aku tidak lagi merasakannya.

Aku cepat berdiri dan bersembunyi ke dalam kegelapan, khawatir suara berisik ini membuat pasangan yang sedang asyik memadu birahi di dalam kamar terganggu. Aku tetap mengocok penisku. Nikmat birahi ini harus kukejar lalu kuselesaikan hingga puncak ejakulasiku itu tumbang. Saat bersandar ke dinding luar kamar pengantinku, di balik bayang-bayang kegelapan malam, akhirnya spermaku memancar keluar. Aku benar-benar puas telah menyalurkan nafsu birahiku ini. Sambil tetap bersandar ke dinding, aku pun terkulai lemas lalu jatuh terduduk ke tanah.

Setelah kuperhatikan dengan seksama ternyata mereka, lelaki tua itu dan istriku, terlampau asyik memacu nikmat birahi sehingga sama sekali tak mendengar atau peduli dengan suara berisik karena kejatuhanku tadi. Kenyataannya saat telah terkuras tenagaku menyusul memancarnya spermaku, mereka belum juga usai berayun-ayun. Suara-suara desah dan rintih mereka semakin keras terdengar tidak beraturan, saling bersahutan.

Aku membutuhkan beberapa saat untuk mengembalikan hasrat seksualku. Aku beristirahat sejenak, mencoba acuh dengan suara-suara erotis yang sebelumnya begitu menggoda syaraf-syaraf pendengaranku. Suara-suara erotis dari kamarku terdengar semakin keras dan iramanya semakin tak terkendali. Aku pikir itu pertanda bahwa mereka sedang berlomba mendaki puncak orgasmenya. Namun pada akhirnya aku tergelitik untuk kembali mengintip. Aku membetulkan letak bangkunya kembali. Kali ini aku berusaha untuk menjaganya agar tidak sampai terguling kembali.

Dengan hati-hati aku naik ke atas kursi itu, sementara tanganku berpegangan kuat pada kisi-kisi jendelaku. Aku bisa lihat kondisi keduanya sekarang. Kulihat tubuh istriku sudah basah mengkilat oleh keringatnya. Begitu pula dengan lelaki tua itu. Tubuh kekarnya jadi tambah seksi karena keringatnya yang mengucur deras. Wajah cakepnya disapunya secara berkala agar matanya tidak terbasahi oleh keringatnya sendiri. Mereka benar-benar sedang berpacu dengan hasrat birahinya yang meledak-ledak.

Kepala istriku yang bergoyang liar mengkibas-kibaskan rambutnya, menandakan bahwa dia sudah dalam keadaan setengah sadar. Kedua bola matanya tampak liar berputar-putar, tanda begitu nikmatnya dia dipompa sang lelaki. Tampaknya dia sedang terbang jauh di tengah samudera nikmat tak terhingga. Dia pasti telah melupakan berbagai hal, termasuk tidak mungkin sekalipun mengingatku.

Kenikmatan birahi itu benar-benar telah merampas kesadarannya. Rasa pedas pada lubang anusnya tampaknya tidak lagi menjadi kendala baginya. Pompaan penis itu semakin mendekati garis finalnya. Dinding anus Ningsih mungkin sedang asyik meremas-remas batang penis lelaki itu. Hingga beberapa saat kemudian datanglah puncak orgasme mereka secara hampir bersamaan. Keduanya menjerit histeris dengan istriku yang lebih dahulu berteriak, yang lalu disusul dengan sang lelaki.

“Aggghhh…Aaahhhsss…Aaawwwsshhh…Aku Sampaisshh Masshhh!!” jerit Ningsih dengan mata terbeliak dan kepala mendongak ke atas. Lelaki itu menjawab jerit histeris istriku dengan menyambar rambutnya dan menjadikannya tali kekang. Dia menghela istriku bagai kuda tunggangannya. Dia berteriak dan mendesis. Lalu penisnya menyemburkan sperma panas yang kelihatan sangat kental dan banyak ke dalam lubang anus Ningsih. Bertubi-tubi sperma memancar yang di dahului kedutan urat-urat batangnya, menyemprot dari lubang penisnya.

“Ooowwhhh…Ningsihshhh…Aagghhh…Aaahhh…Aaahhh…Aku…Jugaahh
Sampaihhhss!!” begitulah jerit nikmat sang lelaki kemudian. Secara bersamaan keduanya tumbang dan rubuh ke ranjang. Untuk beberapa saat, kemaluan sang lelaki tidak dilepasnya dari lubang anal istriku. Mereka terdiam beristirahat, mencoba mengatur nafas setelah keduanya sampai di puncak ejakulasinya tadi. Dalam posisi diam, mereka sepertinya ingin tetap mempertahankan penis yang terbenam dalam anus itu. Dari arah belakang lelaki itu justru mempererat rangkulannya, dan begitu pula sebaliknya, Ningsih semakin kencang memegang lengan berotot lelaki itu.

Adegan diam itu berlangsung bagaikan sikap pantomim. Berlangsung bermenit-menit. Kali ini giliran si lelaki tua yang bergerak. Dia memajukan wajahnya agar bisa mencium Ningsih, yang dengan spontan disambut oleh Ningsih. Masih dalam keadaan gancet saat tubuh yang satu lengket pada tubuh lainnya, mereka saling berciuman dan melumat bibir. Bibir Ningsih membuka dan mengatup merespon bibir lelaki itu. Mereka saling menghisap bibir lawannya dan bertukar lidah. Mereka tampak saling menikmati percumbuan panas itu. Mata keduanya tampak membuka dan menutup sambil terus asyik bercumbu.

Dengan cara seperti itu rupanya mereka ingin memulai kembali permainan syahwat birahinya. Mereka melakukan pemanasan, ingin mengulang kembali puncak orgasme yang mereka yang dapatkan dari persetubuhan sebelumnya. Mereka mulai berancang-ancang memasuki tahap persenggamaan lanjutannya. Ciuman mereka berkembang menjadi semakin panas. Mulut lelaki itu mulai turun merambahkan ciumannya ke dagu Ningsih. Aku mendengar desahan tertahan dari mulut Ningsih merasakan lehernya dirambah mulut sang lelaki. Penis lelaki itu melepas dari lubang anus dan Ningsih segera berbalik hingga mereka menjadi saling berhadapan.

Mulut lelaki itu terus bergerilya di leher Ningsih yang lalu tiba-tiba membuka, menggigit mesra lehernya. Ningsih terpekik pelan merasakan gigitan birahi sang lelaki. Kedua tangannya merangkul erat leher lelaki yang sedang mencumbui lehernya itu dan mulai mengelus-elus kepala sang lelaki dengan sepenuh hati. Mulut lelaki tua itu bergerak turun ke bawah. Sesaat lidah kasarnya di balurkan untuk menjilati bahu dan ketiak Ningsih. Kemudian mulut itu kembali berulah. Digigitnya gemas bahu dan ketiak sensual istriku yang spontan disambut Ningsih dengan pekikan-pekikan pelan yang begitu merangsang siapa pun yang mendengarnya.

Akhirnya tibalah pengembaraan mulut sang lelaki di kedua gunung kembar Ningsih. Kedua payudara yang sudah tidak utuh lagi warnanya itu, menjadi sasaran keganasan mulut dan lidah si lelaki. Dia menjilat, menyedot, menghisap, dan menggigit dengan gemas putting-putingnya secara bergantian, membuat Ningsih bergelinjangan sambil mendesah nikmat tiada henti-hentinya. Ningsih spontan meliuk-liukkan tubuhnya bak ular kobra dalam tangkapan, merasakan nikmatnya disusui oleh lelaki jantan ini.

Berikutnya giliran Ningsih yang ganti beraksi. Dia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan sang lelaki. Dia menjalarkan mulutnya untuk menciumi leher Pak tua itu. Dia jilat, ciumi, lalu gigit leher yang kokoh itu. Kemudian mulutnya mulai turun melata dari leher menuju ke dadanya. Otot-otot kekar lelaki itu menjadi sasaran hasrat birahi istriku. Dia menggigit, menjilat, dan mencium penuh dendam bukit dada lelaki itu. Ningsih tampak sangat menikmati saat mendengar dan merasakan lelaki itu menggelinjang dan mengaduh nikmat.

Ningsih menjadi bertambah liar. Rambahan lidahnya di dada sang lelaki diikuti dengan gigitan-gigitan kencang tapi lembut. Ningsih tampaknya ingin membuat cupang-cupang di dada lelaki yang sangat seksi itu. Sekejap kemudian dada yang penuh dengan otot itu sudah penuh bekas cupangan istriku. Tak lupa putting-putting dada Pak tua itu dijilati dan disedotnya dengan rakus, seperti anak kecil yang menyedot permen favoritnya.
Efeknya gelinjang dan desahan nikmat sang lelaki menjadi semakin keras terdengar.

Tidak mau kalah dengan mulutnya, tangan-tangan Ningsih juga bergerak liar, berusaha menggapai otot-otot kekar di tubuh sang lelaki. Tangannya bergerak meremas, mencengkeram, dan tak jarang juga mencakar. Menyaksikan hal itu, kontan penisku mulai mengeras kembali. Aku bayangkan seandainya aku yang menjadi Ningsih dalam menikmati keras dan liatnya otot-otot di tubuh sang lelaki. Uhhhh…luar biasa!!!

Ciuman Ningsih terus turun melata ke perut pasangannya. Hasrat birahiku bangkit saat menyaksikan perut lelaki itu. Tampak kencang, dan rata. Betapa indah dan serasi tampilannya. Aku iri dengan kontur perut sempurna seperti itu. Rasa iriku ini mendorong khayalan seksualku seakan-akan aku turut menciuminya. Yaaa… aku begitu ingin mencium dan menjilati perut bersegi enam milik lelaki tua yang telah menggeluti tubuh istriku selama ini. Aku dilanda sensasi erotis yang begitu hebat dan membuat orientasi seksualku tiba-tiba bergeser. Aku yang seharusnya melawan pesona sang lelaki, namun berubah menjadi pemujanya.

Aku sangat ingin menggantikan peran Ningsih. Aku membayangkan dirikulah yang menjadi Ningsih, sedang asyik merambahi perut lelaki yang bukan suaminya itu dengan mulut dan lidahnya. Aku merasa sangat kehausan oleh panasnya rangsangan seksual. Tenggorokanku terasa sangat kering. Kurasa peredamnya hanyalah ketika sebentar lagi aku akan menyaksikan sperma lelaki itu tumpah di mulut istriku dengan bayangan seksual seolah-olah sperma itu tumpah di mulutku. Tampak Ningsih tak melewati seinchi pun ciuman dan jilatannya pada serat-serat otot perut lelaki itu.

Selanjutnya rambahan mulut dan lidah Ningsih sudah bisa kubayangkan. Pasti ciuman dan jilatannya akan meluncur ke arah kemaluan milik sang lelaki. Dugaanku pun terjadi… Ningsih memang tipe perempuan pemuja kenikmatan seksual. Dia tampak begitu antusias dalam menyalurkan nafsu birahinya itu. Lihatlah itu, tangannya dengan sepenuh perasaan merintis dengan rabaan dan remasan lembutnya merambah ke wilayah kemaluan lelaki itu. Sesaat kemudian mulut Ningsih bergerak mengikuti jejak tangannya. Lidah dan mulut Ningsih menjalari jalur jari-jarinya untuk menjilat dan mengulum batang kemaluannya. Seperti si buta dengan tongkatnya, jari-jari Ningsih menjadi pedoman bagi mulut dan lidahnya, berupaya melumat penis lelaki itu.

Jari-jarinya sedang asyik mengelus-elus batang yang tegar-kaku serta hangat, menuntun jalur rambahan mulut dan lidahnya. Ketika mulut dan lidah Ningsih mulai menyentuh, mencium dan menjilati batang penisnya, Pak tua itu segera mendesis. Kenikmatan erotis yang sungguh luar biasa telah menimpa dirinya. Tangannya yang kekar spontan mencengkeram rambut Ningsih dan meremas kulit kepalanya. Dia seakan ingin menebar rasa pedih pada kulit kepala istriku. Dia ingin mendengarkan rintihan sakit tapi nikmat dari mulut istriku.

Saat dia mendengar rintih sakit namun nikmatnya, kedua tangannya menekan keras kepala istriku. Dia tunjukkan gairah hewaniahnya, penisnya dia masukkan lebih dalam ke mulut Ningsih. Dia ingin istriku melumati penisnya. Tak lama mengulumnya, kusaksikan pak tua itu cepat berbalik. Dia dorong Ningsih untuk terlentang. Dengan lihainya sang lelaki membalikkan tubuh istriku hingga berlawanan dengan posisi tubuhnya. Kepala sang lelaki berada di bawah selangkangannya sementara kepala istriku berada di bawah selangkangannya. Keduanya kini sudah berada dalam posisi enam sembilan! Rupanya lelaki itu dan Ningsih telah memasuki tahap kedua dari permainan seksual keduanya.
Dalam posisi ini baik Ningsih mau pun sang lelaki menjadi lebih bebas menikmati kemaluan pasangannya. Dengan rakusnya Ningsih berusaha mengulum batangan yang kaku-tegar dan hangat itu hingga pipinya menggembung penuh. Walaupun begitu usahanya untuk menelan keseluruhan kemaluan Pak tua itu sering gagal, karena ukurannya yang begitu besar. Sementara kedua tangan Ningsih tidak mau kalah dengan mulutnya. Kedua tangannya seakan berlomba memberikan kepuasan seksual pada kemaluan lelaki itu dengan meremas-remas batang dan kantung kemaluannya.

Sang lelaki juga tampaknya tidak mau kalah. Dia jilat dan sedot habis-habisan kemaluan istriku. Dia hisap dan tusukkan lidah kasarnya dalam-dalam ke vagina istriku. Bersamaan dengan lidahnya, dia mainkan pula jari-jari tangannya yang besar menembus lubang vagina dan anus Ningsih. Kemaluan istriku semakin membanjir oleh cairan birahinya, karena rangsangan tanpa henti dari lidah dan tangan sang lelaki. Keduanya terus menerus berlomba memberi kepuasan, dengan erangan nikmat yang terdengar tidak berkeputusan dan sahut menyahut.

Posisi erotis kedua ini berlangsung cukup lama hingga akhirnya, sang lelaki kembali bergerak. Dia merubah posisinya, dengan mengembalikan istriku ke atas tubuhnya. Kemudian dia posisikan istriku duduk di atas selangkangannya dengan lubang anus Ningsih tepat berada di atas kemaluannya. Lalu perlahan tapi pasti dituntunnya penis besarnya oleh tangan istriku kembali memasuki lubang anusnya yang memang sudah begitu kelaparan ingin melahapnya.

Dengan sedikit memberikan tekanan masuk sudah ¾ penis itu tertelan anus istriku. Kemudian keduanya mulai membuat gerakan, yang satu memompa keluar masuk, sedangkan yang lain memompa naik turun. Gerakan keduanya semakin cepat dan kasar seiring dengan membanjirnya keringat di tubuh masing-masing. Sambil terus asyik memompa anus istriku, kedua tangan sang lelaki tidak lepas meremas-remas payudara besar istriku bergantian. Diawali senyum menawan yang menghiasi wajah gantengnya, tak lama lelaki itu merubah gerakan tangannya. Dia melipat kedua tangannya yang berotot itu di belakang kepalanya, seakan ingin memamerkan ketiaknya yang berbulu jarang itu.

Lelaki itu terlihat begitu menikmati ekspresi wajah istriku yang sedang dalam setengah sadar dalam pompaan penisnya. Sementara istriku sendiri asyik meremas-remas payudaranya yang besar dan montok itu secara bergantian. Sesekali dia rebahkan tubuhnya untuk bercumbu dengan sang lelaki, saling melumat bibir dan bertukar lidah. Tangannya dia rambahkan ke otot-otot dada dan perut lelaki itu, membuat gerakan meremas dan mencakar.

Ucchh.. Sungguh pemandangan yang sangat menakjubkan… Aku mengakui stamina hasrat seksual kedua orang ini. Belum lama mereka telah menumpahkan hampir semua energinya saat menjemput orgasmenya tadi, kini mereka telah kembali ke arena pergumulan birahi untuk kembali melampiaskan syhawat birahinya. Aku yakin puncak nikmat ejakulasi keduanya akan segera menyusul. Aku sendiri seperti terkena sihir. Apa yang istriku lakukan bersama lelaki itu telah membuatku ingin mengeksplorasi seluruh nafsu birahi kembali.

Tanganku kembali mengelus, mengocok-ocok, meremas-remas, merangsang dengan segala cara dan posisi agar penisku yang hanya setengah dari ukuran penis Pak tua itu, kembali tegak. Aku terus menerus memberikan rangsangan pada libidoku dengan mengocok kemaluanku sendiri, terpengaruh adegan mesum yang tampak panas di depan mataku ini. Aku mempercepat kocokan tanganku seiring dengan semakin liarnya gerakan erotis antara sang lelaki dan istriku itu.

Aku merasakan kembali nikmatnya mengocok kemaluanku. Saraf-saraf seksual yang peka karena kocokan tanganku maupun yang terangsang oleh khayalan seksualku, merangsang kantong spermaku untuk memompakan simpanannya. Tak bisa kuhindari, aku merasakan spermaku mulai merambat jaringan pipanya untuk selekasnya bisa menyembur keluar dari penisku. Hal yang membuatku menjadi sangat terbakar adalah datangnya khayalan seksualku yang mendorong timbulnya sensasi baru bagi dorongan syahwat birahiku.

Aku membayangkan kalau aku yang menjadi Ningsih yang sedang asyik dijejali anusnya oleh batangan besar, keras, dan panjang punya sang lelaki. Aku membayangkan tidak lama lagi cairan kental panas akan memancar keluar memenuhi anusku. Aku sudah membayangkan rasa lengket dan aroma khas sperma lelaki di anusku. Rambatan seksual itu terasa begitu nikmat. Dengan berbagai irama, tanganku asyik mengelus, mengocok, dan memijit-pijit penisku sendiri. Perlahan kocokan itu mengantarku semakin dekat ke ambang orgasme. Aku tak lepas memonitor mataku ke wajah cantik istriku yang sedang dalam keadaan setengah sadar itu. Kulihat pompaan penis lelaki itu mengayun semakin cepat dan kasar… kasarrr… kasaaarrr….

Woowww.. Ayyoo.. Ningsihi.. Hohh.. Hohh.. Hohh.. Ayyohh…Pak…Tuahh…

Aku pun kembali melayang… Gelapnya malam terasa berputar.. Bayangan lampu jalusi di kapalku terlihat bergoyang-goyang karena terpaan ombak. Kembali pegangan tanganku di jalusi itu lepas, dan aku terayun limbung. Kakiku tak mampu bergetar dan tidak lagi mampu berdiri tegak. Bangku plastik terlepas dari injakanku. Amppuunn.. Aku terus terhuyung dan tak mampu melepaskan kocokan tanganku… Spermaku memancar keluar tepat saat aku oleng dan melayang jatuh terguling ke tumpukan puing renovasi rumahku. Sementara itu sayup-sayup kudengar suara lelaki dan perempuan yang semakin lama semakin kencang dan tak beraturan. Rupanya pada saat yang bersamaan, saat spermaku sudah memancar keluar, mereka masih dalam pendakian ke puncak orgasme.

Tanganku masih terus mengocok penisku, berusaha untuk memperpanjang nikmat orgasme yang kualami, seiring usahaku untuk menghayati suara-suara erotis yang terdengar keras dari dalam kamar antara istriku bersama Pak tua itu. Hasilnya begitu dahsyat. Aku mengalami nikmatnya dilanda orgasme secara beruntun. Desahan nikmatku seakan tak pernah henti. Dalam keadaan terjerembab ke tumpukan puing itu aku terus mendesah dan mendesis disusul memancarnya spermaku. Entah apa yang terjadi, rasanya spermaku terus memancar seakan tak mau berhenti.

Pelan-pelan aku bergeser ke dalam kegelapan di balik pot-pot tanaman hias. Aku tunggu beberapa saat, dengan tegang menyimak apakah mereka yang sedang asyik bergulat dalam kamar pengantinku itu mendengar suara jatuhku ini, lalu menghentikan kegiatannya dan menengok keluar jendela. Ternyata tidak seorang pun dari mereka yang peduli dan mendengar suara jatuhku itu. Mereka begitu asyik dalam jebakan pusaran birahi yang begitu menggebu-gebu, sehingga tetap tidak mendengar suara yang terdengar cukup gaduh itu. Aku sendiri sudah tidak lagi peduli, apakah aku telah terluka atau tidak.

Aku masih tetap ingin menuntaskan keingintahuanku. Sejauh mana perbuatan mesum yang dilakukan Ningsih bersama Pak tua itu di dalam kamar pengantinku. Kulihat jam tanganku menunjukkan pukul 3 dini hari. Aku terseok bangun dari tumpukan puing di luar jendela kamarku. Walaupun tubuhku terasa mengilu dan pedih, namun aku tetap berusaha mengatur bangku plastik untuk kembali mengintip ke lubang kisi-kisi jendela. Aku bisa saksikan saat ini, bahwa istriku memang perempuan yang selalu haus dengan gairah syahwatnya. Dia telah bertemu dengan pasangan idamannya, lelaki yang meskipun sudah berusia setengah abad, tetapi memiliki kekuatan dan stamina untuk melayaninya.

Saat aku kembali mengintip, keduanya masih saja asyik berayun-ayun, namun dengan posisi yang sudah berubah. Dengan anus yang masih menjadi santapan birahi penis sang lelaki, keduanya bercinta dengan posisi menyamping. Pak tua itu asyik menggauli anus istriku, sementara tangan kekarnya memegangi erat paha kiri istriku. Satu tangannya yang lain dia gunakan untuk meremasi payudara sebelah kiri istriku. Ningsih sendiri, asyik memainkan payudara sebelah kanan dan klitorisnya sendiri. Keduanya terus berayun-ayun sambil tak lepas berlumatan bibir dan bertukar lidah. Kulihat baik lelaki dan Ningsih, tubuh keduanya sudah dipenuhi bekas cupangan, terutama di daerah sekitar dada dan lehernya.

Tidak lama sampailah keduanya di puncak orgasmenya, dengan istriku yang kembali lebih dahulu mencapai puncak orgasmenya. Beberapa saat kemudian giliran sang lelaki yang mencapai puncak orgasmenya. Hanya saja, kali ini Pak tua itu tidak menyemburkan spermanya ke anus istriku sebagaimana yang terjadi pada posisi persenggamaan awalnya. Saat hampir sampai di puncaknya, dia segera cabut penisnya dari anus istriku lalu dia rubah posisinya.

Dia tidurkan istriku kembali, lalu dia angsurkan penisnya untuk dijepit payudara istriku. Istriku membantu gerakan Pak tua itu dalam menggauli payudaranya. Dia pegangi payudaranya yang menjepit erat penis sang lelaki. Kemudian setelah digosok-gosokkannya beberapa saat, dengan teriakan histeris memancarlah sperma Pak tua itu ke dada, leher, dan wajah istriku. Sperma-sperma yang begitu kental dan banyak itu, memancar deras membasahi hampir sebagian besar wajah Ningsih, mulai dari mata, pipi, rambut, hidung, leher, dan payudaranya.

Pak tua itu terus mengocok penisnya, berusaha untuk memastikan tidak ada spermanya yang tersisa di batangnya. Setelahnya dia rebahkan dirinya ke samping istriku. Sebagian spermanya yang memancar, diraih oleh istriku lalu ditelannya dengan sepenuh perasaan. Sisa spermanya Ningsih raih lalu di balurkannya ke seluruh tubuhnya sendiri, termasuk ke rambutnya hingga tidak ada spermanya yang tersisa. Untuk sesaat tidak ada yang bergerak. Keduanya tetap berbaring beristirahat, mencoba mengatur nafas setelah pergumulan yang seru dan dahsyat tadi. Mereka beristirahat tidak lama. Giliran istriku yang bergerak kali ini setelah berbaring hanya sekitar 10 menit.

Dalam kondisi bugil dan berlumuran sperma di sekujur tubuhnya, istriku kembali menindih dan memagut bibir lelaki itu. Sesekali Ningsih mengangkat wajahnya untuk memandangi wajah ganteng sang lelaki, untuk selanjutnya dia ulangi kembali pagutan bibirnya dengan tangan yang mengelus-elus mesra rambut Pak tua itu. Ooo.. rupanya Ningsih masih menginginkan agar vaginanya mendapatkan giliran ditembus penis lelaki itu. Tangan kanannya merayap turun untuk mengelus dan meremas-remas kemaluannya. Tampak nyata olehku, Ningsih yang begitu keranjingan pada penis besar, keras, dan panjang milik lelaki itu. Kusaksikan betapa kontrasnya antara kelembutan tangan Ningsih dengan kasarnya otot-otot kemaluan sang lelaki. Tangan lembut itu terus memeras, memijit dan mengelus batang yang panas dan kasar. Sungguh suatu kontrastistik erotis yang sangat indahnya. Tidak diragukan lagi, kedua insan ini ingin kembali memasuki pergulatan birahi selanjutnya, yang penuh dengan atmosfir gairah birahi. Ciuman antara Ningsih dan sang lelaki kembali mulai memanas.

Perlahan tapi pasti penis yang besar, kasar, dan panjang itu mulai berdiri seiring semakin liarnya tangan Ningsih merambahi batang penis dan kantung spermanya. Begitu penisnya kembali tegak dengan sempurna, kembali sang lelaki bangkit memegang kendali. Dia tidurkan kembali istriku sambil mengecup bibirnya pelan. Lalu dia beranjak turun dari tempat tidur dan berdiri di tepi ranjangnya. Dia tarik lembut kedua kaki istriku ke tepi ranjang, merapat ke arahnya. Kemudian dia buka betis istriku lebar-lebar, dan ditumpangkannya ke dadanya yang kokoh. Ningsih sendiri langsung otomatis mengarahkan pistol milik Pak tua itu ke arah vaginanya. Butuh beberapa detik bagi Ningsih untuk membenamkan kemaluan sang lelaki seluruhnya ke dalam vaginanya.

Semuanya berjalan begitu mengalir, seakan hal ini sudah merupakan ritual rutin dalam pertemuan-pertemuan birahi mereka sebelumnya. Aku melihat kepala penis yang begitu bulat, lebar, dan berkilatan menekan bagian luar vagina Ningsih hingga terbawa melesak ke dalam. Desis nikmat langsung terbit dari mulut keduanya mengiringi amblasnya penis dahsyat itu masuk ke dalam vaginanya. Dalam posisi ini, kusaksikan adegan mesum mereka melalui kisi-kisi jendelaku, menjadi puncak dari perselingkuhan istriku dengan Pak tua itu. Kulihat mereka lebih ahli dalam saling mengayun.

Irama sodokan penis besar dan lahapan lubang vagina, diiringi oleh desah dan rintihan nikmat yang bertalu-talu dari pasangan selingkuh itu, bagaikan alunan musik yang indah di hari yang dingin dan sunyi ini. Ekspresi wajah keduanya pun tampak begitu natural dan bebas, sekaligus menyiksa dan merangsang gairah birahiku. Wajah tampan lelaki tua yang begitu sarat nikmat merasakan jepitan dan remasan lubang sempit vagina istriku dan wajah cantik istriku yang begitu hanyut dalam pusaran nafsu birahinya. Merasakan nikmatnya dipompa oleh batang super lelaki yang bukan suaminya. Aku mengaku begitu menikmati perbuatan kotor istriku bersama lelaki tua nan jantan ini. Aku menikmati khayalan yang membuat orientasi seksualku bergeser, ingin menjilati atau melahap tubuh kekarnya. Aku merindukan peristiwa ini terus berulang, dan berharap aku bisa menyaksikannya lagi.

Goyang dan ayun, masuk keluar, antara Ningsih bersama Pak tua sampai pada puncaknya ketika Ningsih tiba-tiba bangkit dan mencakar bukit dada sang lelaki. Kulihat cakarnya terhujam pada daging dadanya, menghasilkan alur merah yang panjang. Itulah puncak orgasme Ningsih yang buas dan liar. Nafsu hewaniahnya yang tak pernah dia perlihatkan padaku. Giliran sang lelaki sampai, dia buru-buru tarik miliknya dari vagina istriku. Lalu dia semburkan spermanya yang banyak dan kental dari posisinya semula.

Croottt…crrottt…crrrottt… spermanya menghujani tubuh istriku mulai dari daerah kemaluannya hingga ke dagu dan lehernya. Ada sekitar 5 kali pistolnya memancarkan isinya ke tubuh istriku, setelah didahului kedutan urat-urat yang mengelilingi batangnya. Seakan tidak puas dengan ejakulasinya, dia pukulkan penisnya berkali-kali ke paha istriku, mencoba memastikan seluruh cadangan spermanya sudah terkuras habis. Begitu yakin seluruh spermanya sudah habis, dia segera naik kembali ke tempat tidur dan berbaring di samping istriku, yang saat itu sedang tergeletak kecapaian dengan ekspresi wajah sarat nikmat dan kepuasan.

Ketika segalanya telah usai, sementara ketelanjangan dalam kamar pengantinku belum juga berakhir, lelaki itu mengambil sepotong kain berwarna terang dan lembut yang terserak di lantai. Sementara Ningsih terlentang kelelahan di ranjang, dengan sabar lelaki itu mengelap spermanya yang tercecer pada tubuh istriku dengan celana dalam yang ada di tangannya. Dia mengelap spermanya yang meleleh dari lubang anus, lubang vagina, sekitar daerah selangkangan istriku. Dia lap juga spermanya yang terserak di dagu, pipi, leher serta buah dada istriku. Saat pekerjaannya selesai, celana dalam istriku dia lemparkan kembali ke lantai

Puas beristirahat, dia beranjak turun dari tempat tidur. Dia mengambil pakaiannya yang terserak di lantai dan mulai memakainya satu persatu. Aku merasa sangat kehilangan ketika tubuhnya masih berkeringat, dan terihat begitu seksi itu, tertutup kembali dengan rapi di balik pakaiannya. Aku ingin sekali menyaksikan perselingkuhan ini terulang, agar aku bisa menyaksikan dirinya telanjang lagi. Lelaki itu pulang sangat dini hari, sekitar pukul 04.30 pagi. Kemungkinan istrikulah yang mengingatkannya, tentang kepulanganku di pagi ini.

Aku tak lagi menyangsikan cerita Joko. Tetapi aku hari ini bukan lagi aku kemarin lusa yang seorang suami baru turun dari kapalnya. Aku sekarang adalah lelaki yang menikmati istrinya mendapatkan nikmat syahwat dari lelaki lain. Aku memang pulang pagi ini. Aku telah berdiri di ambang pintu rumahku jam 7.30 pagi. Istriku menyambut aku dengan penuh rindu. Dia sedang bersiap untuk belanja ke pasar. Seperti biasa, dia bertanya padaku ingin belanja apa untuk makan nanti. Aku serahkan saja padanya. Dia toh tahu kesukaanku. Aku hanya berharap Ningsih lekas berangkat ke pasar. Aku sudah tak sabar untuk memasuki kamar mandi.

Aku menemukan apa yang sangat ingin kutemukan pagi itu. Celana dalam istriku yang berwarna terang dan lembut terlihat berada di gantungan kamar mandi. Tanganku meraihnya dan jari-jariku merabanya hingga kutemukan gumpalan lengket itu. Aku tak lagi sekedar menciumnya. Aku mempersiapkan seluruh diriku sesaat. Celana dalam itu kuamati lebih cermat. Kupandangi di mana saja gumpalan-gumpalan lengket itu menempel.

Kemudian aku memulai apa yang sangat aku rindukan. Aku dekatkan celana dalam itu ke mulutku. Aku mulai melahap. Aku lumat-lumat celana itu pada gumpalan lengketnya. Aku merasakan sperma dingin yang sangat kental larut dalam mulutku. Aku meyakinkan diriku sedang mengunyah dan akan menelan habis semua sperma milik lelaki teman selingkuh Ningsih istriku. Aku mendapatkan nikmat orgasmeku tanpa tanganku menyentuh apalagi mengocok penisku. Air maniku memancar keluar saat sperma lelaki itu mulai mengaliri tenggorokanku.

Tidak ada komentar: