Sabtu, 30 Agustus 2008

Hany (new)

Kisahku yang satu ini kejadiannya sudah cukup lama, waktu aku masih kelas tiga 
SMU, umurku juga masih 18 tahun ketika itu. Sejak aku menyerahkan tubuhku pada 
Tohir, sopirku, dia sering memintaku melakukannya lagi setiap kali ada kesempatan, 
bahkan terkadang aku dipaksanya melayani nafsunya yang besar itu.  
 
Ketika di mobil dengannya tidak jarang dia suruh aku mengoralnya, kalaupun tidak, 
minimal dia mengelus-elus paha mulusku atau meremas dadaku. Pernah malah 
ketika kedua orang tuaku keluar kota dia ajak aku tidur bersamanya di kamarku. 
Memang di depan orang tuaku dia bersikap padaku sebagaimana sopir terhadap 
majikannya, namun begitu jauh dari mereka keadaan menjadi berbalik akulah yang 
harus melayaninya. Mulanya sih aku memang agak kesal karena sikapnya yang agak 
kelewatan itu, tapi di lain pihak aku justru menikmatinya.  
 
Tepatnya dua minggu sebelum ebtanas, aku sedang belajar sambil selonjoran 
bersandar di ujung ranjangku. Ketika itu waktu sudah menunjukkan pukul 23.47, 
suasananya hening sekali pas untuk menghafal. Tiba-tiba konsentrasiku terputus 
oleh suara ketukan di pintu. Kupikir itu Mamaku yang ingin menengokku, tapi ketika 
pintu kubuka, jreenngg.. Aku tersentak kaget, si Tohir ternyata.  
 
"Ih, ngapain sih Bang malam-malam gini, kalau keliatan Papa Mama kan gawat 
tahu"  
"Anu Non, nggak bisa tidur nih.. Mikirin Non terus sih, bisa nggak Non sekarang.. 
Sudah tiga hari nih?" katanya dengan mata menatapi tubuhku yang terbungkus gaun 
tidur pink.  
"Aahh.. Sudah ah Bang, saya kan harus belajar sudah mau ujian, nggak mau 
sekarang ah!" omelku sambil menutup pintu.  
 
Namun sebelum pintu tertutup dia menahannya dengan kaki, lalu menyelinap masuk 
dan baru menutup pintu itu dan menguncinya.  
"Tenang saja Non, semua sudah tidur dari tadi kok, tinggal kita duaan saja" katanya 
menyeringai.  
"Jangan ngelunjak Bang.. Sana cepet keluar!" hardikku dengan telunjuk mengarah 
ke pintu.  
 
Bukannya menuruti perintahku dia malah melangkah mendekatiku, tatapan matanya 
tajam seolah menelanjangiku.  
 
"Bang Tohir.. Saya bilang keluar.. Jangan maksa!" bentakku lagi.  
"Ayolah Non, cuma sebentar saja kok.. Abang sudah kebelet nih, lagian masa Non 
nggak capek belakangan ini belajar melulu sih" ucapnya sambil terus mendekat.  
 
Aku terus mundur selangkah demi selangkah menghindarinya, jantungku semakin 
berdebar-debar seperti mau diperkosa saja rasanya. Akhirnya kakiku terpojok oleh 
tepi ranjangku hingga aku jatuh terduduk di sana. Kesempatan ini tidak disia-siakan 
sopirku, dia langsung menerkam dan menindih tubuhku. Aku menjerit tertahan dan 
meronta-ronta dalam himpitannya. Namun sepertinya reaksiku malah membuatnya 
semakin bernafsu, dia tertawa-tawa sambil menggerayangi tubuhku. Aku 
menggeleng kepalaku kesana kemari saat dia hendak menciumku dan menggunakan 
tanganku untuk menahan laju wajahnya.  
 
"Mmhh.. Jangan Bang.. Citra nggak mau!" mohonku.  
 
Aneh memang, sebenarnya aku bisa saja berteriak minta tolong, tapi kenapa tidak 
kulakukan, mungkin aku mulai menikmatinya karena perlakuan seperti ini bukanlah 
pertama kalinya bagiku, selain itu aku juga tidak ingin ortuku mengetahui skandal-
skandalku. Breett.. Gaun tidurku robek sedikit di bagian leher karena masih 
memberontak waktu dia memaksa membukanya. Dia telah berhasil memegangi 
kedua lenganku dan direntangkannya ke atas kepalaku. Aku sudah benar-benar 
terkunci, hanya bisa menggelengkan kepalaku, itupun dengan mudah diatasinya, 
bibirnya yang tebal itu sekarang menempel di bibirku, aku bisa merasakan kumis 
pendek yang kasar menggesek sekitar bibirku juga deru nafasnya pada wajahku.  
Kecapaian dan kalah tenaga membuat rontaanku melemah, mau tidak mau aku 
harus mengikuti nafsunya. Dia merangsangku dengan mengulum bibirku, mataku 
terpejam menikmati cumbuannya, lidahnya terus mendorong-dorong memaksa ingin 
masuk ke mulutku. Mulutku pun pelan-pelan mulai terbuka membiarkan lidahnya 
masuk dan bermain di dalamnya, lidahku secara refleks beradu karena dia selalu 
menyentil-nyentil lidahku seakan mengajaknya ikut menari. Suara desahan tertahan, 
deru nafas dan kecipak ludah terdengar jelas olehku.  
 
Mataku yang terpejam terbuka ketika kurasakan tangan kasarnya mengelusi paha 
mulusku, dan terus mengelus menuju pangkal paha. Jarinya menekan-nekan liang 
vaginaku dan mengusap-ngusap belahan bibirnya dari luar. Birahiku naik dengan 
cepatnya, terpancar dari nafasku yang makin tak teratur dan vaginaku yang mulai 
becek. Tangannya sudah menyusup ke balik celana dalamku, jari-jarinya mengusap
usap permukaannya dan menemukan klitorisku, benda seperti kacang itu dipencet-
pencet dan digesekkan dengan jarinya membuatku menggelinjang dan merem-
melek menahan geli bercampur nikmat, terlebih lagi jari-jari lainnya menyusup dan 
menyetuh dinding-dinding dalam liang itu.  
 
"Ooohh.. Non Citra jadi tambah cantik saja kalau lagi konak gini!" ucapnya sambil 
menatapi wajahku yang merona merah dengan matanya yang sayu karena sudah 
terangsang berat.  
 
Lalu dia tarik keluar tangannya dari celana dalamku, jari-ja rinya belepotan cairan 
bening dari vaginaku.  
 
"Non cepet banget basahnya ya, lihat nih becek gini" katanya memperlihatkan 
jarinya yang basah di depan wajahku yang lalu dijilatinya.  
 
Kemudian dengan tangan yang satunya dia sibakkan gaun tidurku sehingga 
payudaraku bugil yang tidak memakai bra terbuka tanpa terhalang apapun. Matanya 
melotot mengamat-ngamati dan mengelus payudaraku yang berukuran 34B, dengan 
puting kemerahan serta kulitnya yang putih mulus. Teman-teman cowokku bilang, 
bahwa bentuk dan ukuran payudaraku ideal untuk orang Asia, kencang dan tegak 
seperti punya artis bokep Jepang, bukan seperti punya bule yang terkadang oversize 
dan turun ke bawah.  
"Nnngghh.. Bang" desahku dengan mendongak ke belakang merasakan mulutnya 
memagut payudaraku yang menggemaskan itu.  
 
Mulutnya menjilat, mengisap, dan menggigit pelan putingnya. Sesekali aku bergidik 
keenakan kalau kumis pendeknya menggesek putingku yang sensitif. Tangan lainnya 
turut bekerja pada payudaraku yang sebelah dengan melakukan pijatan atau 
memainkan putingnya sehingga kurasakan kedua benda sensitif itu semakin 
mengeras. Yang bisa kulakukan hanya mendesah dan meremasi rambutnya yang 
sedang menyusu.  
 
Puas menyusu dariku, mulutnya perlahan-lahan turun mencium dan menjilati 
perutku yang rata dan terus berlanjut makin ke bawah sambil tangannya 
menurunkan celana dalamku. Sambil memeloroti dia mengelusi paha mulusku. Cd 
itu akhirnya lepas melalui kaki kananku yang dia angkat, setelah itu dia mengulum 
sejenak jempol kakiku dan juga menjilati kakiku. Darahku semakin bergolak oleh 
permainannya yang erotis itu. Selanjutnya dia mengangkat kedua kakiku ke 
bahunya, badanku setengah terangkat dengan selangkangan menghadap ke atas.  
 
Aku pasrah saja mengikuti posisi yang dia inginkan, pokoknya aku ingin 
menuntaskan birahiku ini. Tanpa membuang waktu lagi dia melumat kemaluanku 
dengan rakusnya, lidahnya menyapu seluruh pelosok vaginaku dari bibirnya, 
klitorisnya, hingga ke dinding di dalamnya, anusku pun tidak luput dari jilatannya. 
Lidahnya disentil-sentilkan pada klitorisku memberikan sensasi yang luar biasa pada 
daerah itu. Aku benar-benar tak terkontrol dibuatnya, mataku merem-melek dan 
berkunang-kunang, syaraf-syaraf vaginaku mengirimkan rangsangan ini ke seluruh 
tubuh yang membuatku serasa menggigil.  
 
"Ah.. Aahh.. Bang.. Nngghh.. Terus!" erangku lebih panjang di puncak kenikmatan, 
aku meremasi payudaraku sendiri sebagai ekspresi rasa nikmat  
Tohir terus menyedot cairan yang keluar dari sana dengan lahapnya. Tubuhku jadi 
bergetar seperti mau meledak. Kedua belah pahaku semakin erat mengapit 
kepalanya. Setelah puas menyantap hidangan pembuka berupa cairan cintaku, 
barulah dia turunkan kakiku. Aku sempat beristirahat dengan menunggunya 
membuka baju, tapi itu tidak lama. Setelah dia membuka baju, dia buka juga 
dasterku yang sudah tersingkap, kami berdua kini telanjang bulat.  
Dia membentangkan kedua pahaku dan mengambil posisi berlutut di antaranya. 
Bibir vaginaku jadi ikut terbuka memancarkan warna merah merekah diantara bulu-
bulu hitamnya, siap untuk menyambut yang akan memasukinya. Namun Tohir tidak 
langsung mencoblosnya, terlebih dulu dia gesek-gesekkan penisnya yang besar itu 
pada bibirnya untuk memancing birahiku agar naik lagi. Karena sudah tidak sabar 
ingin segera dicoblos, aku meraih batang itu, keras sekali benda itu waktu 
kugenggam, panjang dan berurat lagi.  
 
"Aaakkhh..!" erangku lirih sambil mengepalkan tangan erat-erat saat penisnya 
melesak masuk ke dalamku  
"Aauuhh..!" aku menjerit lebih keras dengan tubuh berkelejotan karena hentakan 
kerasnya hingga penis itu tertancap seluruhnya pada vaginaku.  
 
Untung saja kamar Papa Mamaku di lantai dasar dan letaknya cukup jauh dari 
kamarku, kalau tidak tentu suara-suara aneh di kamarku pasti terdengar oleh 
mereka, bagaimanapun sopirku ini termasuk nekad berani melakukannya di saat dan 
tempat seperti ini, tapi justru disinilah sensasinya ngeseks di tempat yang 
'berbahaya'. Dengan gerakan perlahan dia menarik penisnya lalu ditekan ke dalam 
lagi seakan ingin menikmati dulu gesekan-gesekan pada himpitan lorong sempit 
yang bergerinjal-gerinjal itu. Aku ikut menggoyangkan pinggul dan memainkan otot 
vaginaku mengimbangi sodokannya. Responku membuatnya semakin menggila, 
penisnya semakin lama menyodok semakin kasar saja, kedua gunungku jadi ikut 
terguncang-guncang dengan kencang.  
 
Kuperhatikan selama menggenjotku otot-otot tubuhnya mengeras, tubuhnya yang 
hitam kekar bercucuran keringat, sungguh macho sekali, pria sejati yang memberiku 
kenikmatan sejati. Suara desahanku bercampur baur dengan erangan jantannya dan 
derit ranjang. Butir-butir keringat nampak di sejukur tubuhku seperti embun, 
walaupun ruangan ini ber-ac tapi aku merasa panas sekali.  
 
"Uugghh.. Non Citra.. Sayang.. Kamu emang uenak tenan.. Oohh.. Non cewek paling 
cantik yang pernah abang entotin" Tohir memgumam tak karuan di tengah 
aktivitasnya. 
Dia menurunkan tubuhnya hingga menindihku, kusambut dengan pelukan erat, 
kedua tungkaiku kulingkarkan di pinggangnya. Dia mendekatkan mulutnya ke leher 
jenjangku dan memagutnya. Sementara di bawah sana penisnya makin gencar 
mengaduk-aduk vaginaku, diselingi gerakan berputar yang membuatku serasa 
diaduk-aduk. Tubuh kami sudah berlumuran keringat yang saling bercampur, akupun 
semakin erat memeluknya. Aku merintih makin tak karuan menyambut klimaks yang 
sudah mendekat bagaikan ombak besar yang akan menghantam pesisir pantai.  
 
Namun begitu sudah di ambang klimaks, dia menurunkan frekuensi genjotannya. 
Tanpa melepaskan penisnya, dia bangkit mendudukkan dirinya, maka otomatis aku 
sekarang diatas pangkuannya. Dengan posisi ini penisnya menancap lebih dalam 
pada vaginaku, semakin terasa juga otot dan uratnya yang seperti akar beringin itu 
menggesek dinding kemaluanku. Kembali aku menggoyangkan badanku, kini dengan 
gerakan naik-turun. Dia merem-melek keenakan dengan perlakuanku, mulutnya 
sibuk melumat payudaraku kiri dan kanan secara bergantian membuat kedua benda 
itu penuh bekas gigitan dan air liur. Tangannya terus menjelajahi lekuk-lekuk 
tubuhku, mengelusi punggung, pantat, dan paha.  
 
Tak lama kemudian aku kembali mendekati orgasme, maka kupercepat goyanganku 
dan mempererat pelukanku. Hingga akhirnya mencapai suatu titik dimana tubuhku 
mengejang, detak jantung mengencang, dan pandangan agak kabur lalu disusul 
erangan panjang serta melelehnya cairan hangat dari vaginaku. Saat itu dia gigit 
putingku dengan cukup keras sehingga gelinjangku makin tak karuan oleh rasa perih 
bercampur nikmat. Ketika gelombang itu berangsur-angsur berlalu, goyanganku pun 
makin mereda, tubuhku seperti mati rasa dan roboh ke belakang tapi ditopang 
dengan lengannya yang kokoh.  
 
Dia membiarkanku berbaring mengumpulkan tenaga sebentar, diambilnya tempat 
minum di atas meja kecil sebelah ranjangku dan disodorkan ke mulutku. Beberapa 
teguk air membuatku lebih enakan dan tenagaku mulai pulih berangsur-angsur.  
 
"Sudah segar lagi kan Non? Kita terusin lagi yuk!" sahut Tohir senyum-senyum 
sambil mulai menggerayangi tubuhku kembali.  
"Habis ini sudahan yah, takut ketahuan nih," kataku.  
Kali ini tubuhku dibalikkan dalam posisi menungging, kemudian dia mulai menciumi 
pantatku. Lidahnya menelusuri vagina dan anusku memberiku sensasi geli. 
Kemudian aku merasa dia meludahi bagian duburku, ya ketika kulihat ke belakang 
dia memang sedang membuang ludahnya beberapa kali ke daerah itu, lalu digosok-
gosokkan dengan jarinya. Oh.. Jangan-jangan dia mau main sodomi, aku sudah 
lemas dulu membayangkan rasa sakitnya ditusuk benda sebesar itu pada daerah situ 
padahal dia belum juga menusuk. Pertama kali aku melakukan anal sex dengan 
temanku yang penisnya tidak sebesar Tohir saja sudah sakit banget, apalagi yang 
sebesar ini, aduh bisa mampus gua pikirku.  
 
Benar saja yang kutakutkan, setelah melicinkan daerah itu dia bangkit dengan 
tangan kanan membimbing penisnya dan tangan kiri membuka anusku. Aku meronta 
ingin menolak tapi segera dipegangi olehnya.  
 
"Jangan Bang.. Jangan disitu, sakit!" mohonku setengah meronta.  
"Tenang Non, nikmati saja dulu, ntar juga enak kok" katanya dengan santai.  
 
Aku merintih sambil menggigit guling menahan rasa perih akibat tusukan benda 
tumpul pada duburku yang lebih sempit dari vaginaku. Air mataku saja sampai 
meleleh keluar.  
 
"Aduuhh.. Sudah dong Bang.. Citra nggak tahan" rintihku yang tidak dihiraukannya.  
"Uuhh.. Sempit banget nih" dia mengomentariku dengan wajah meringis menahan 
nikmat.  
 
Setelah beberapa saat menarik dan mendorong akhirnya mentok juga penisnya. Dia 
diamkan sebentar penisnya disana untuk beradaptasi sekalian menikmati jepitannya. 
Kesempatan ini juga kupakai untuk membiasakan diri dan mengambil nafas.  
Aku menjerit kecil saat dia mulai menghujamkan penisnya. Secara bertahap 
sodokannya bertambah kencang dan kasar sehingga  
tubuhku pun ikut terhentak-hentak. Tangannya meraih kedua payudaraku dan 
diremas-remasnya dengan brutal. Keringat dan air  
 
mataku bercucuran akibat sensasi nikmat di tengah-tengah rasa perih dan ngilu, aku 
menangis bukan karena sedih, juga bukan  
 
karena benci, tapi karena rasa sakit bercampur nikmat. Rasa sakit itu kurasakan 
terutama pada dubur dan payudara, aku  
 
mengaduh setiap kali dia mengirim hentakan dan remasan keras, namun aku juga 
tidak rela dia menyudahinya. Terkadang aku harus  
 
menggigit bibir atau bantal untuk meredam jeritanku agar tidak keluar sampai ke 
bawah sana.  
 
Akhirnya ada sesuatu perasaan nikmat mengaliri tubuhku yang kuekspresikan 
dengan erangan panjang, ya aku mengalami orgasme  
 
panjang dengan cara kasar seperti ini, tubuhku menegang beberapa saat lamanya 
hingga akhirnya lemas seperti tak bertulang.  
 
Tohir sendiri menyusulku tak lama kemudian, dia menggeram dan makin 
mempercepat genjotannya. Kemudian dengan nafas masih  
 
memburu dia mencabut penisnya dariku dan membalikkan tubuhku. Spermanya 
muncrat dengan derasnya dan berceceran di sekujur  
 
dada dan perutku, hangat dan kental dengan baunya yang khas.  
 
Tubuh kami tergolek lemas bersebelahan. Aku memejamkan mata dan mengatur 
nafas sambil merenungkan dalam-dalam kegilaan  
 
yang baru saja kami lakukan, sebuah hubungan terlarang antara seorang gadis dari 
keluarga kaya dan terpelajar yang cantik dan  
 
terawat dengan sopirnya sendiri yang kasar dan berbeda kelas sosial. Hari-hari 
berikutnya aku jadi semakin kecanduan seks,  
 
terutama seks liar seperti ini, dimana tubuhku dipakai orang-orang kasar seperti 
Tohir, dari situlah aku merasakan sensasinya.  
 
Sebenarnya aku pernah ingin berhenti, tetapi aku tidak bisa meredam libidoku yang 
tinggi, jadi ya kujalani saja apa adanya. Untuk  
 
mengimbanginya aku rutin merawat diriku sendiri dengan fitness, olahraga, mandi 
susu, sauna, juga mengecek jadwal suburku  
 
secara teratur. Dua bulan ke depan Tohir terus memperlakukanku seperti budak 
seksnya sampai akhirnya dia mengundurkan diri  
 
untuk menemani istrinya yang menjadi TKW di Timur Tengah. Lega juga aku bisa 
lepas dari cengkeramannya, tapi terkadang aku  
merasa rindu akan keperkasaannya, dan hal inilah yang mendorongku untuk 
mencoba berbagai jenis penis hingga kini.  

Tidak ada komentar: