Senin, 25 Agustus 2008

TERJERAT NAFSU NYONYA MAJIKAN

Tujuanku datang ke Jakarta sebenarnya untuk merubah nasib. Tapi siapa yang 
menyangka kalau ternyata kehidupan di kota besar, justru lebih keras dan pada di 
desa. Aku sempat terlunta-lunta, tanpa ada seorangpun yang mau peduli. Selembar 
ijazah SMP yang kubawa dari desa, ternyata tidak ada artinya sama sekali di kota 
ini. Jangankan hanya ijazah SMP, lulusan sarjana saja masih banyak yang 
menganggur. 
 
Dari pada jadi gelandangan, aku bekerja apa saja asalkan bisa mendapat uang untuk 
menyambung hidup. Sedangkan untuk kembali ke kampung, rasanya malu sekali 
karena gagal menaklukan kota metropolitan yang selalu menjadi tumpuan orang-
orang kampung 
  sepertiku.
Seperti hari-hari biasanya, siang itu udara di Jakarta terasa begitu panas sekali. 
Seharian ini aku kembali mencoba untuk mencari pekerjaan. Tapi seperti yang selalu 
terjadi. Tidak ada satupun yang melirik apa lagi memperhatikan lamaran dan 
ijazahku. Keputusasaan mulai menghinggapi diriku. Entah sudah berapa kilometer 
aku berjalan kaki. Sementara pakaianku sudah basah oleh keringat. Dan wajahku 
juga terasa tebal oleh debu. Aku berteduh di bawah pobon, sambil menghilangkan 
  pegal-pegal di kaki.
Setiap hari aku berjalan. Tidurpun di mana saja. Sementara bekal yang kubawa dari 
kampung semakin menipis saja. Tiga atau empat hari lagi, aku pasti sudah tidak 
sanggup lagi bertahan. Karena bekal yang kubawa juga tinggal untuk makan 
  beberapa hari lagi. Itupun hanya sekali saja dalam sehari.
Di bawah kerindangan pepohonan, aku memperhatikan mobil-mobil yang berlalu 
lalang. Juga orang-orang yang yang selalu sibuk dengan urusannya masing-masing. 
Tidak ada seorangpun yang peduli antara satu dengan lainnya. Tiba-tiba pandangan 
mataku tertuju kepada seorang 
wanita yang tampak kesal karena mobilnya mogok. Dia ingin meminta bantuan, Tapi 
orang-orang yang berlalu lalang dan melewatinya tidak ada yang peduli. Entah 
kenapa aku jadi merasa kasihan. Padahal aku sendiri perlu dikasihani. Aku bangkit 
  berdiri dan melangkah menghampiri.
"Mobilnya mogok, Nyonya...?", tegurku dengan sikap ramah. 
"Eh, iya. Nggak tahu ya kenapa, tiba-tiba saja mogok," sahutnya 
sambil memandangiku penuh Curiga. 
"Boleh saya lihat " ujarku meminta ijin. 
  "silakan kalau bisa."
Waktu di kampung aku sering bantu-bantu paman yang buka bengkel motor. 
Terkadang ada juga mobil yang minta diperbaiki. Tapi namanya di kampung, jarang 
orang yang punya motor. Apa lagi mobil. Makanya usaha paman tidak pernah bisa 
  maju. Hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.
Seperti seorang ahli mesin saja, aku coba melihat-lihat dan memeriksa segala 
kemungkinan yang membuat mesin mobil ini tidak mau hidup. Dan entah mendapat 
pertolongan dari mana, aku menemukan juga penyakitnya. 
 
Setelah aku perbaiki, mobil itu akhirnya bisa hidup kembali. Tentu saja wanita 
pemilik mobil ini jadi senang. Padahal semula dia sudah putus asa. Dia membuka 
tasnya dan mengeluarkan uang lembaran dua puluh ribu. Langsung disodorkan 
  padaku. Tapi aku tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Kenapa? Kurang...?", tanyanya. 
"Tidak, Nyonya. Terima kasih," ucapku menolak halus. 
  "Kalau kurang, nanti saya tambah," katanya lagi.
"Terima kasih Nyonya. Saya cuma menolong saja. Saya tidak 
mengharapkan imbalan," kataku tetap menolak. Padahal uang itu 
  nilainya besar sekali bagiku. Tapi aku malah menolaknya.
Wanita yang kuperkirakan berusia sekitar tiga puluh delapan tahun itu 
memandangiku dengan kening berkerut. Seakan dia tidak percaya kalau di kota 
yang super sibuk dengan orang-orangnya yang selalu mementingkan diri sendiri, 
tanpa peduli dengan lingkungan sekitarnya, 
ternyata masih ada juga orang yang dengan tanpa pamrih mau menolong dan 
  membantu sesamanya.
"Maaf, kelihatannya kamu dari kampung...?" ujarnya bernada bertanya 
ingin memastikan. 
"Iya, Nyonya. Baru seminggu saya datang dari kampung," sahutku polos. 
"Terus, tujuannya mau kemana?" tanyanya lagi. 
"Cari kerja," sahutku tetap polos. 
"Punya ijazah apa?". 
  "Cuma SMP."
"Wah, sulit kalau cuma SMP. Sarjana saja banyak yang jadi pengangguran kok. Tapi 
kalau kamu benar-benar mau kerja, kamu bisa kerja dirumahku," katanya langsung 

  menawarkan.
"Kerja apa, Nyonya...?" tanyaku langsung semangat. 
"Apa saja. Kebetulan aku perlu pembantu laki-laki. Tapi aku perlu 
yang bisa setir mobil. Kamu bisa setir mobil apa. Kalau memang bisa, 
  kebetulan sekali," sahutnya.
Sesaat aku jadi tertegun. Sungguh aku tidak menyangka sama sekali ternyata ijasah 
yang kubawa dan kampung hanya bisa dipakai untuk jadi pembantu. Tapi aku 
memang membutuhkan pekerjaan saat ini. Daripada jadi gelandangan, tanpa 
berpikir panjang lagi, aku langsung menerima pekerjaan yang ditawarkan wanita itu 
  saat itu juga, detik itu juga aku ikut bersama wanita ini ke rumahnya.
Ternyata rumahnya besar dan megah sekali. Bagian dalamnyapun terisi segala 
macam perabotan yang serba mewah dan lux. Aku sampai terkagum-kagum, seakan 
memasuki sebuah istana. Aku merasa seolah-olah sedang bermimpi. Aku diberi 
sebuah kamar, lengkap dengan tempat tidur, lemari pakaian dan meja serta satu 
kursi. Letaknya bersebelahan dengan dapur. Ada empat kamar yang berjajar. Dan 
semuanya sudah terisi oleh pembantu yang bekerja di rumah ini. Bahkan tiga orang 
pembantu wanita, menempati satu kamar. Aku hitung, semua yang bekerja di rumah 
ini ada tujuh orang. Kalau ditambah denganku, berarti ada delapan orang. Tapi 
memang pantas. mengurus rumah sebesar ini, tidak mungkin bisa dikerjakan oleh 
satu orang. Apalagi setelah beberapa hari aku bekerja di rumah ini aku sudah bisa 
mengetahui kalau majikanku, Nyonya Wulandari selalu sibuk dan jarang berada di 
rumah. Juga suaminya yang lebih sering berada di luar kota atau ke luar negeri. 
Sedangkan kedua anaknya sekarang ini sekolah di luar negeri. Aku jadi heran 
sendiri. Entah bagaimana cara mereka mencari uang, hingga bisa kaya raya seperti 
  ini.
Tapi memang nasib, rejeki, maut dan jodoh berada di tangan Tuhan. 
 
Begitu juga yang terjadi denganku. Dari jadi pembantu yang tugasnya 
membersihkan rumah dan merawat tanaman, aku diangkat jadi sopir pribadi Nyonya 
majikan. Bukan hanya jadi sopir, tapi juga sekaligus jadi pengawalnya. Kemana saja 
Nyonya Majikan pergi, aku selalu berada di sampingnya. Karena aku harus selalu 
mendampinginya, tentu saja Nyonya membelikan aku beberapa potong pakaian yang 
pantas. Terus terang, pada dasarnya memang aku tampan dan memiliki tubuhnya 
yang tegap, atletis dan berotot. Makanya Nyonya jadi kesengsem begitu melihat 
penampilanku, setelah tiga bulan lamanya bekerja jadi sopir 
  dan pengawal pribadinya.
Aku bisa berkata begitu karena bukan cuma jadi sopir dan pengawal saja. Tapi juga 
jadi pendampingnya di ranjang dan menjadi penghangat tubuhnya. Mengisi 
kegersangan dan kesunyian hatinya yang selalu ditinggal suami. Dan aku juga 
menempati kamar lain yang jauh lebih besar dan lebih bagus. Tidak lagi menempati 
  kamar yang khusus untuk pembantu.
Semua bisa terjadi ketika malam itu aku baru saja mengantar Nyonya pergi 
berbelanja. Setelah memasukkan mobil ke dalam garasi, aku langsung dipanggil 
untuk menemuinya. Semula aku ragu dan hampir tidak percaya, karena langsung 
disuruh masuk ke dalam kamarnya. Tapi memang Nyonya memintaku untuk masuk 
ke dalam kamarnya. Dia menyuruhku untuk menutup pintu, setelah aku berada di 
  dalam kamar yang besar dan mewah itu.
Aku tertegun, apa lagi saat melihat Nyonya Majikanku itu hanya mengenakan 
pakaian tidur yang sangat tipis sekali, sehingga setiap lekuk bentuk tubuhnya 
membayang begitu jelas sekali. Dan di balik pakaiannya yang tipis itu, dia tidak 
mengenakan apa-apa lagi. 
 
Beberapa kali aku menelan ludah sendiri memandang keindahan tubuhnya. Sekujur 
tubukku mendadak saja jadi menggeletar seperti terserang demam, ketika dia 
  menghampiri dan langsung melingkarkan kedua tangannya ke leherku.
"Nyonya". 
"Malam ini kau tidur di sini bersamaku." 
  "Eh, oh...?!"
Belum lagi aku bisa mengeluarkan kata-kata lebih banyak, Nyonya Wulandari sudah 
menyumpal mulutku dengan pagutan bibirnya yang indah dan hangat 
menggairahkan. Tentu saja aku jadi gelagapan, kaget setengah mati. Dadaku 
berdebar menggemuruh tidak menentu. Bcrbagai macam perasaan herkecamuk di 
dalam dada. Ragu-ragu aku memegang pinggangnya. Nyonya Wulandari 
membawaku ke pembaringannya yang besar dan empuk Dia melepaskan baju yang 
kukenakan, sebelum menanggalkan penutup tubuhnya sendiri. Dan membiarkannya 
  tergeletak di lantai.
Mataku seketika jadi nanar dan berkunang-kunang. Meskipun usia Nyonya Wulandari 
sudah hampir berkepala empat, tapi memang dia merawat kecantikan dan tubuhnya 
dengan baik. Sehigga tubuhnya tetap ramping, padat dan berisi. Tidak kalah dengan 
tubuh gadis-gadis remaja belasan tahun. Bagaimanapun aku lelaki normal. Aku tahu 
apa yang diinginkan Nyonya Wulandari. Apa lagi aku tahu kalau sudah dua minggu 
ini suaminya berada di luar negeri. Sudah barang tentu Nyonya Wulandari merasa 
  kesepian.
  "Oh,ah..."
Nyonya Wulandari mendesis dan menggeliat saat ujung lidahku yang basah kian 
hangat mulai bermain dan menggelitik bagian ujung atas dadanya yang membusung 
dan agak kemerahan. Jari-jari tangankupun tidak bisa diam. Membelai dan meremas 
dadanya yang padat dan kenyal 
dengan penuh gairah yang membara Bahkan jari-jari tanganku mulai menelusuri 
setiap bagian tubuhnya yang membangkitkan gairah. Aku melihat Nyonya Wulandari 
dan sudah tidak kuasa lagi menekan gairahnya. Sesekali dia merintih dengan suara 
tertahan sambil mendesak-desakkan tubuhnya Mengajakku untuk segera mendaki 
hingga ke puncak kenikmatan yang tertinggi. Tapi aku belum ingin membawanya 
terbang ke surga dunia yang bergelimang kehangatan dan kenikmatan itu. Aku ingin 
merasakan dan menikmati dulu keindahan tubuhnya dan kehalusan kulitnya yang 
  putih bagai kapas ini.
"Aduh, oh. Ahh..., Cepetan dong, aku sudah nggak tahan nih...," desah Nyonya 
Wulandari dengan suara rintihannya yang tertahan. 
 
Nyonya Wulandari menjepit pinggangku dengan sepasang pahanya yang putih dan 
mulus. Tapi aku sudah tidak bisa lagi merasakan kehalusan kulit pahanya itu. Karena 
sudah basah oleh keringat. Nyonya majikanku itu benar-benar sudah tidak mampu 
lebih lama lagi bertahan. Dia memaksaku untuk cepat-cepat membawanya mendaki 
hingga ke puncak kenikmatan. Aku mengangkat tubuhku dengan bertumpu pada 
kedua tangan. 
 
Perlahan namun pasti aku mulai menekan pinggulku ke bawah. Saat itu kedua mata 
Nyonya Wulandari terpejam. Dan dan bibirnya yang selalu memerah dengan bentuk 
yang indah dan menawan, mengeluarkan suara desisan panjang, saat merasakan 
bagian kebanggaan tubuhku kini sudah sangat keras dan berdenyut hangat mulai 
menyentuh dan menekan, mendobrak benteng pertahanannya yang terakhir. 
Akhirnya batang penisku menembus masuk sampai ke tempat yang paling dalam 
  divaginanya.
  "Okh,aah...!"
Nyonya Wulandari melipat kedua kakinya di belakang pinggangku. Dan terus 
menekan pinggulku dengan kakinya hingga batang kebanggaanku melesak masuk 
dan terbenam ke dalam telaga hangat yang menjanjikan berjuta-juta kenikmnatan 
itu. Perlahan namun pasti aku mulai membuat gerakan-gerakan yang 
mengakibatkan Nyonya Wulandari mulai tersentak 
  dalam pendakiannya menuju puncak kenikmatan yang tertinggi.
Memang pada mulanya gerakan-gerakan tubuhku cukup lembut dan teratur Namun 
tidak sampai pada hitungan menit, gerakan-gerakan tubuhku mulai liar dan tidak 
terkendali lagi. Beberapa kali Nyonya Wulandari memekik dan mengejang tubuhnya. 
Dia menggigiti dada serta bahuku. 
 
Bahkan jari-jari kukunya yang tajam dan runcing mulai mengkoyak kulit 
punggungku. Terasa perih, tapi juga sangat nikmat sekali. Bahkan Nyonya Wulandari 
menjilati tetesan darah yang ke luar dari luka di bahu dan dadaku, akibat gigitan 
  giginya yang cukup kuat.
Dan dia jadi semakin liar, hingga pada akhirnya wanita itu memekik cukup keras dan 
tertahan dengan sekujur tubuh mengejang saat mencapai pada titik puncak 
kenikrnatan yang tertinggi. Dan pada saat yang hampir bersamaan, sekujur tubuhku 
juga menegang Dan bibirku keluar 
suara rintihan kecil. hanya beberapa detik kemudian aku sudah menggelimpang ke 
samping, sambil menghembuskan napas panjang. Nyonya Wulandari langsung 
memeluk dan merebahkan kepalanya di dadaku yang basah berkeringat. Aku 
memeluk punggungnya yang terbuka, dan 
merasakan kehalusan kulit punggungnya yang basah berkeringat. Nyonya Wulandari 
menarik selimut, menutupi tubuh kami berdua. Aku sempat memberinya sebuali 
kecupan kecil dibibirnya, sebelum memejamkan mata. 
 
Membayangkan semua yang baru saja terjadi hingga terbawa ke dalam mimpi yang 
  indah.
Sejak malam itu aku kerap kali dipanggil ke dalam kamarnya. Dan kalau sudah 
begitu, menjelang pagi aku baru keluar dari sana dengan tubuh letih. Semula aku 
memang merasa beruntung bisa menikmnati keindahan dan kehangatan tubuh 
Nyonya Majikanku. Tapi lama-kelamaan, aku mulai dihinggapi perasaan takut. 
Betapa tidak, ternyata Nyonya Wulndari tidak pernah puas kalau hanya satu atau 
dua kali bertempur dalam semalam. Aku baru menyadari kalau ternyata Nyonya 
Majikanku itu seorang maniak, yang tidak pernah puas dalam bercinta di atas 
  ranjang.
Bukan hanya malam saja. Pagi, siang sore dan kapan saja kalau dia menginginkan, 
aku tidak boleh menolak. Tidak hanya di rumah, tapi juga di hotel atau tempat-
tempat lain yang memungkinkan untuk bercinta dan mencapai kenikmatan di atas 
ranjang. Aku sudah mulai kewalahan menghadapinya. Tapi Nyonya Wulandari selalu 
memberiku obat perangsang, kalau aku sudah mulai tidak mampu lagi melayani 
keinginannya yang selalu berkobar-kobar itu. Aku tetap jadi supir dan pengawal 
  pribadinya. Tapi juga jadi kekasihnya di atas ranjang.
Mungkin karena aku sudah mulai loyo, Nyonya Wulandari membawaku ke sebuah 
club kesegaran. Orang-orang bilang fitness centre. Di sana aku dilatih dengan 
berbagai macam alat agar tubuhku tetap segar, kekar dan berotot. Dua kali dalam 
seminggu, aku selalu datang ke club itu. 
 
Memang tidak kecil biayanya. Tapi aku tidak pernah memikirkan biayanya. Karena 
ditanggung oleh Nyonya Wulandari. Dan di rumah, menu makanankupun tidak sama 
dengan pembantu yang lainnya. Nyonya Wulandari sudah memberikan perintah pada 
juru masaknya agar memberikan menu makanan untukku yang bergizi. Bahkan dia 
  memberikan daftar makanan khusus untukku.
Terus terang, aku merasa tidak enak karena diperlakukan istimewa. 
 
Tapi tampaknya semua pembantu di rumah ini sudah tidak asing lagi. Bahkan dari Bi 
Minah, yang tugasnya memasak itu aku baru tahu kalau bukan hanya aku yang 
sudah menjadi korban kebuasan nafsu seks Nyonya Wulandari. Tapi sudah beberapa 
orang pemuda seusiaku yang jadi korban. Dan mereka rata-rata melarikan diri, 
  karena tidak tahan dengan perlakuan Nyonya Wulandari.
Aku memang sudah tidak bisa lagi menikmati indahnya permainan di atas ranjang 
itu. Apa lagi Nyonya Wulandari sudah mulai menggunakan cara-cara yang 
mengerikan, Untuk memuaskan keinginan dan hasrat biologisnya yang luar biasa 
dan bisa dikatakan liar. Aku pernah diikat, dicambuk dan di dera hingga kulit 
tubuhku terkoyak. Tapi Nyonya Wulandari malah mendapat kepuasan. Wanita ini 
benar-benar seorang maniak. Dan aku semakin tidak tahan dengan perlakuannya 
yang semakin liar dan brutal. Meskipun kondisi tubuhku dijaga, dan menu 
makanankupun terjamin gizinya, tapi batinku semakin tersiksa. 
 
Beberapa orang pembantu sudah menyarankan agar aku pergi saja dan rumah ini. 
Rumah yang besar dan megah penuh kemewahan ini ternyata hanya sebuah neraka 
  bagiku.
Aku memang ingin lari, tapi belum punya kesempatan. Tapi rupanya Tuhan 
mengabulkan keinginanku itu. Kebetulan sekali malam itu suami Nyonya Wulandari 
datang. Aku sendiri yang menjemputnya di bandara. 
 
Dan tentu tidak sendiri saja, tapi bersama Nyonya Wulandari. Di dalam perjalanan 
aku tahu kalau suami Nyonya Majikanku itu hanya semalam saja. Besok pagi dia 
sudah harus kembali ke Tokyo. Dari kaca spion aku melihat tidak ada gurat 
kekecewaan di wajah Nyonya Wulandari. 
 
Padahal sudah hampir sebulan suaminya pergi Dan kini pulang juga hanya semalam 
saja. Nyonya Wulandari malah tersenyum dan mencium pipi suaminya yang kendur 
  dan berkeriput.
Setelah memasukkan mobil ke dalam garasi, aku bergegas ke kamar. 
 
Kesempatan bagiku untuk kabur dan rumah neraka ini. Karena Nyonya Wulandari 
sedang sibuk dengan suaminya. Aku langsung mengemasi pakaian dan apa saja 
milikku yang bisa termuat ke dalam tas ransel. 
 
Saat melihat buku tabungan, aku tersenyum sendiri. Sejak bekerja di rumahi ini dan 
menjadi sapi perahan untuk pemuas nafsu Nyonya Majikan, tabunganku di bank 
sudah banyak juga. Karena Nyonya Wulandan memang tidak segan-segan 
memberiku uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Dan tidak sepeserpun uang yang 
diberikannya itu aku gunakan. 
 
Semuanya aku simpan di bank. Aku masukan buku tabungan itu ke dalam tas 
ransel, diantara tumpukan pakaian. Tidak ada yang tahu kalau aku punya cukup 
banyak simpanan di bank. Bahkan Nyonya Wulandari sendiri tidak tahu. Karena 
rencananya memang mau kabur, aku tidak perlu lagi berpamitan. Bahkan aku ke 
  luar lewat jendela.
Malam itu aku berhasil melarikan diri dari rumah Nyonya Wulandari. 
 
Terbebas dari siksaan batin, akibat terus menerus dipaksa dan didera untuk 
memuaskan nafsu birahinya yang liar dan brutal. Tapi ketika aku lewat di depan 
garasi, ayunan langkah kakiku terhenti. Kulihat Bi Minah ada di sana, seperti sengaja 
menunggu. Dadaku jadi berdebar kencang dan menggemuruh. Aku melangkah 
  menghampiri. Dan Wanita bertubuh gemuk itu mengembangkan senyumnya.
"Jangan datang lagi ke sini. Cepat pergi, nanti Nyonya keburu 
tahu..," kata Bi Minah sambil menepuk pundakku. 
  "Terima kasih, Bi," ucapku.
Bi Minah kembali tersenyum. Tanpa membuang-buang waktu lagi, aku bergegas 
meninggalkan rumah itu. Aku langsung mencegat taksi yang kebetulan lewat, dan 
  meminta untuk membawaku ke sebuah hotel.
Untuk pertama kali, malam itu aku bisa tidur nyenyak di dalam kamar sebuah hotel. 
Dan keesokan harinya, setelah mengambil semua uangku yang ada di bank, aku 
langsung ke stasiun kereta. Aku memang sudah bertekad untuk kembali ke desa, 
  dan tidak ingin datang lagi ke Jakarta.
Dari hasil tabunganku selama bekerja dan menjadi pemuas nafsu Nyonya Wulandari, 
aku bisa membuka usaha di desa. Bakkan kini aku sudah punya istri yang cantik dan 
seorang anak yang lucu. Aku selalu berharap, apa yang terjadi pada diriku jangan 
sampai terjadi pada orang lain. Kemewahan memang tidak selamanya bisa 
dinikmati. Justru kemewahan bisa menghancurkan diri jika tidak mampu 
mengendalikannya. 

Tidak ada komentar: